Tugas Baru

Aku pernah menulis tentang betapa sulitnya aku berkawan or being familiar terhadap hal-hal baru. Bukan cerita baru sebenarnya tapi tetap saja menganggu. Awal tahun ini aku pindah kerja ke bagian baru, meninggalkan posisiku yang lama sebagai bendahara kantor, jabatan paling dihindari sebagai pelaksana. Seharusnya aku senang akhirnya ada yang menggantikanku mengisi jabatan itu. Seharusnya aku senang akhirnya aku lepas dari tanggung jawab megang uang kantor dengan berbagai dramanya. Iya aku senang tapi dalam waktu yang sama, tepatnya selama satu setengah bulan ini, tidurku tidak pernah nyenyak. Aku bahkan sering membawa pekerjaan ke dalam alam tidurku, nyempil di alur mimpiku yang sudah cukup rumit.

Aku pernah cerita belum sih tentang aku dan akuntansi yang tidak pernah sejalan? Aku maunya mudah, dia maunya susah. Iya, aku pindah ke bagian yang mengurusi verifikasi dokumen dan akuntansi pelaporan. Akuntansi yang tidak pernah ku mengerti tiba-tiba menjadi makanan rutinku. Rasanya tuh kayak mual tiap hari. Hampir tiap hari aku lembur mengerjakan pekerjaan yang tidak kunjung ku mengerti. Kata orang yang sudah pernah berada di bagian ini, enak kok, mudah kok, malah gampang kok. Are we talking about the same thing? Aku kok enggak ngerasa begitu. Aku merasa clueless. Tidak tahu sama sekali apa yang sedang ku kerjakan. Dan yang jadi persoalan, semua yang ku kerjakan ini akan ada nilainya. Nilai dalam bentuk angka macam ujian jaman sekolah. Aku overthinking, takut aku tidak cukup mampu diberi tanggung jawab memegang bagian ini. Aku merasa aku buruk sekali pemahamannya. Bagaimana jika setelah ku pegang malah hasilnya anjlok? Bukan memburuk tapi langsung anjlok? Hii, aku kok ngeri ya membayangkannya.

Aku tuh kayak belum dapat chemistry dengan pekerjaanku saat ini. Kayak ayo dong kamu mudah dipahami tapi tuh  ukuran otakku yang tak seberapa ini menolak paham cepat-cepat. Aku tuh sebel kok gak mudeng-mudeng. Kenapa aku kok kurang gini.

Pertengahan bulan ini ada deadline utama dari seluruh rangkaian pekerjaan yang membuatku pusing selama hampir satu setengah bulan ini dan 3 hari sebelum deadline, yang mana adalah hari ini, aku bahkan masih tidak tahu apa yang harus ku mulai. Aku tidak tahu, tidak paham dan bingung. Di kepalaku saat ini, setelah deadline selesai, aku harus healing. Kenapa coba malah itu isi kepalaku. Lha deadlinenya mau diapakan saja sampai hari ini masih ngawang-ngawang. Aku tuh anaknya perfeksionis, aku tuh akan kepikiran sampai jelek sebelum kerjaan selesai. Di saat bersamaan, aku malah mencari pelampiasan di dunia maya, salah satunya ngetik ini. So please pray for me. Tidak mau muluk-muluk, hanya ingin pekerjaan ini selesai dan hasilnya tidak mengecewakan. Sejujurnya memikirkannya saja sudah bikin aku curhat sepanjang ini. Tapi tetap saja bingung.


Continue reading Tugas Baru

To Do List

Hi, how's life? Been through some unexpected things and still be fine I guess.

Tahun 2023 sudah berlangsung hampir separo jalan. Not so good I'd say. Not bad either. Lucu kalo ku pikir. Why do I feel so bothered easily. Tahun ini justru tidak ada hal istimewa yang ingin ku lakukan. Terlebih, tahun lalu aku dan pasangan baru saja mengambil keputusan besar berupa membeli rumah pertama di tempat yang bahkan tidak kami tinggali. However, we're so happy.

Mengawali tahun dengan tidak begitu baik, anak kami harus opname tepat di hari ulang tahunnya yang kelima. Merayakan ulang tahun secara sederhana di rumah dinas lalu melanjutkan tidur di rumah sakit. Momen yang tidak pernah tepat. Rasanya tidak akan pernah lucu mengingat tentang infus dan rumah sakit. Ingin menyalahkan keadaan tapi buat apa. Musibah sering kali datang di saat kita sedang tidak siaga. Tapi sudah siaga pun, siapa yang menjamin tidak kebagian. Little did we knew, we're also gonna be through some unexpected things ahead.

Beberapa bulan yang lalu, tempat kerja kami sedang sangat disorot oleh media. Tidak dalam kemasan headline yang baik. Lagipula siapa yang peduli dengan berita baik jika berita buruk lebih mudah untuk digoreng. Bad news makes more noise. Sempat merasa cukup gerah dengan kondisi linimasa sosial media beberapa bulan belakangan yang dibanjiri opini-opini yang tidak perlu. Marah karena tidak dapat berbuat apapun. Apa yang bisa diperbuat jika setiap pembelaan justru menjadi bahan bakar baru untuk memperbesar api yang sudah terlanjur berkobar di sana sini. Kadang diam juga sebuah bentuk dukungan. Bulan berlalu dan mereda dengan sendiri. Menyisakan beberapa bara dan asap yang masih bisa menyala kapan-kapan. Hanya berharap semua pihak mendapatkan keadilannya. I stand for what is right. Memberikan opini yang salah juga sama tidak adilnya. Jadi untuk apa.

Melewati ramadhan dan lebaran dengan kewaspadaan akan banyak hal. Bagaimana jika rencana-rencana kecilku tidak dapat kulakukan tahun ini. Apa yang akan aku lakukan. Apa harus membawanya hingga tahun depan? Itu berarti aku harus menggendong to do list ini sepanjang sisa tahun ini? Energi mana yang akan aku gunakan. Bagaimana perasakanku. Tidurku sempat tidak nyenyak selama beberapa waktu hanya untuk memikirkannya saja. Kenapa juga aku begitu gegabah dan ceroboh tahun ini. Tapi rencana seperti apa sih, bukankah to do list itu sudah rutin ku lakukan. Kenapa rasanya seperti berat sekali. Lalu, lebaran pun ku tutup dengan kekosongan. Ingin rasanya berlama-lama tidur di Bogor atau Klaten. Perasaan berat kembali ke rantau sering menimpa siapapun yang terlalu senang menghabiskan waktunya di kampung halaman. Tapi aku baik-baik saja meski tak satu pun to do list itu ku kerjakan. Ku lewati jalanan menuju Cilacap dengan perasaan tidak menentu. Sepertinya, aku sedang turut merasakan kekosongan yang anakku rasakan ketika harus berpisah dengan teman-temannya. Kadang, aku ingin bisa seperti suamiku yang tidak banyak berekspektasi terhadap kehidupan. Aku dan ekspektasiku sering kali merepotkan diriku sendiri. Ingin ku maki diriku sambil berujar, dasar pemalas dengan segudang rencana!

Melewati satu bulan ini dengan kepala ringan karena aku seperti tidak lagi peduli. Ku rasa, ada seni tersendiri tentang merelakan sesuatu yang belum menjadi bagian kita. Aku hanya ingin melakukan apa yang saat ini bisa ku lakukan. Aku selalu punya to do list. Kita semua punya itu ketika menjalani rutinitas. Ditulis atau tidak, isi kepala seorang ibu adalah to do list yang berbeda setiap harinya. Maka, ku mulai lagi di hari ini, mengerjakan to do list yang masih bisa ku lakukan. Siapa yang tahu jika hari ini ada kabar baik yang akan membantuku. Tuhan Maha Baik. Selalu seperti itu. Cheers!
Continue reading To Do List

Dilema Part II : Tentang Jadwal Screentime Anak dan Konsistensi Orang Tuanya

Masih dengan tema yang sama, membahas pola pengasuhan anak. Aku nggak cukup capable kalau harus membahas pola parenting. Namun hal-hal yang berkaitan dengan pengasuhan anak secara umum, sedikit banyak aku sudah mengalaminya. Membagikannya ke blog tidak hanya sekadar mengisi kekosongan blog ini saja, namun sebagai catatan dan pengingat buatku sendiri terhadap perjalananku sebagai orang tua. Jika dalam publikasi catatan ini terdapat hal-hal baik yang dapat pembaca ambil, tentu bisa menjadi pahala jariyah untukku kelak. 



Kali ini, aku akan membahas dilema semua orang tua di era kemajuan teknologi saat ini. Era revolusi industri 4.0 yang menggabungkan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional dalam pertukaran data dan informasi, sedikit banyak telah mengubah kebiasaan masyarakat secara umum di berbagai lapisan usia, kelas, dan generasi. Keharusan untuk mengikuti tuntutan kemajuan zaman sering kali tidak dibarengi dengan kesiapan mental dan kemajuan pola pikir manusianya. Banyak yang latah dan kaget dengan kemajuan yang begitu pesat dalam satu dekade ini. Pergeseran peran dan kebiasaan telah menjadi concern sebagian manusia yang masih peduli. Mengapa demikian? Tak jarang dilema kemajuan teknologi ini memunculkan kekhawatiran berubahnya karakteristik manusia di dalamnya. Adaptasi secara cepat untuk mengerti proses kerjanya sering tidak dibersamai dengan adaptasi untuk bijaksana dalam penggunaannya. Tidak sedikit yang terjadi adalah alih-alih manusia yang mengontrol teknologi, justru teknologilah yang berhasil mengontrol manusia dalam kesehariannya. Dan sayangnya, tak banyak yang mencoba berpikir sejenak untuk menyadarinya.

Seperti yang kalian tahu, aku terlahir sebagai orang tua di era digital. Aku adalah orang tua dari generasi alfa. Generasi yang lahir setelah tahun 2010. Generasi yang sudah terpapar internet bahkan sejak di dalam kandungan. Generasi yang memiliki banyak privilege untuk mendapatkan berbagai kemudahan dari kemajuan zaman yang sudah sangat pesat dan berpotensi untuk terus berkembang tanpa batas. Anakku, tidak tahu rasanya hidup di era tanpa teknologi. Anakku tumbuh saat dunia sudah sangat modern di sana sini. Beruntung dan dilema dalam satu waktu. Sulit dan mudah dalam satu kondisi. Bagaimana kita mencari jalan tengahnya sangat bergantung pada kebijaksanaan kita sebagai orang tua. Apakah kita mengalir saja atau diam sejenak untuk berbenah saat sadar ada yang salah dari langkah yang diambil dalam menghadapi derasnya aliran informasi di era teknologi masa kini. Aku juga sedang terus mempelajari pola ini.

Setelah punya anak, aku jadi tahu bahwa sulit sekali tidak untuk tidak menggunakan gadget sebagai salah satu "'nanny"nya anak. Meski, sebenarnya anak di bawah 2 tahun tidak boleh dapat paparan screentime sama sekali. Takaran ideal memang terkadang tidak sejalan dengan realita. Ada saja keadaan tidak ideal yang membuat kita, orang tua harus takluk juga dengan gadget. Aku masih ingat pertama kali Radif kenal gadget dan youtube tuh saat awal dia mulai MPASI. Ada kalanya saat ada distraksi yang membuat dia agak menolak makan, aku membuatnya stay duduk di booster seatnya dengan bantuan si nanny onlinenya ini alias youtube. Merasa bersalah, sangat. Merasa tidak ideal sebagai ibu, iya. Tapi kembali lagi, kondisi dan pilihan setiap orang tua memang tidak bisa disamaratakan. Kondisi normatif kadang tidak bisa mengikuti kondisi realitanya. Dan tidak ada pilihan lain selain berlapang dada. Menerima bahwa tidak pernah ada namanya orang tua yang ideal, yang ada adalah orang tua yang tidak berhenti belajar.

Aku tidak sedang mencari pembenaran karena memang pilihanku itu tidak benar sama sekali. Anak dikenalkan gadget sebelum 2 tahun saja sudah salah secara aturan, bagaimana mungkin aku mencoba mencari pembenaran. Yang ku lakukan adalah menjelaskan bahwa ada kondisi tidak ideal yang gagal aku adaptasi. Tentu bukan aku tidak sadar. Saat itu, aku tidak ingin mencoba mencari jalan lain karena ku anggap tidak ada. Pilihan yang ada hanya aku dan pilihanku itu sendiri. Berakhir dengan anak kenal gadget sangat dini. Namun, aku sedikit merasa bersyukur bahwa intensitas dia screentime masih sangat jarang saat itu. Dalam satu bulan saja bisa dihitung hanya berapa menit atau jam saja. Radif kecil cukup disiplin untuk tidak terlalu terpapar gadget meski tidak juga sama sekali. Aku menggunakan gadget saat darurat saja. Saat aku dan suami merasa tidak mampu menghandlenya dan keadaan mengharuskan dia harus diam sejenak. Hal ini terjadi karena sejak di usianya dini, Radif harus dibawa ke kantor karena sulitnya mencari pengasuh di tanah rantau. Bekerja membawa anak ke kantor sungguh membuatku menggeser definisi parenting ideal. Karena kondisi yang ku hadapi saja sudah jauh dari ideal. Jika aku memaksa diri, aku justru sedang memberikan anakku seorang ibu yang tidak bahagia dengan dirinya sendiri. Dan itu justru lebih tidak baik untuknya.

Membawa anak ke kantor memang bukan hal mudah. Namun hal tersebut justru merupakan sebuah bentuk kemudahan tersendiri yang ku peroleh dari lingkungan kerjaku. Pro kontra dari lingkungan tentu saja harus kami hadapi. Kami berusaha berkomitmen bahwa bekerja dengan membawa anak tidak mengurangi kualitas kinerja. Berat sekali memang pada awalnya. Terutama saat dia masih sangat bayi dan kantor kami kebetulan belum mempunyai ruang laktasi. Bolak-balik menggunakan mushola kantor sebagai basecamp, mengajak anak lembur, hingga harus rela membiarkan anak bolak-balik naik motor saban hari. Aku dan suami cukup beruntung berada di lingkungan yang cukup supportif. Rekan kerja memperlakukan Radif selayaknya anak sendiri. Meski tentu, ada saja kesulitan yang kami hadapi dalam menangani anak dan kerjaan dalam satu waktu. Terlebih awalnya, aku dan suami sama-sama ditempatkan di frontliner. Garda terdepan pelayanan di kantor. Garda yang paling disorot oleh stakeholder. Sungguh, stakeholder di sana sangat memahami kondisi kami. Tak jarang mereka turut membantu kami menangani kerepotan bekerja sambil membawa anak. Tidak pernah sekalipun kami mendengar mereka mengeluhkan keadaan kami. Bantuan demi bantuan kami dapatkan secara cuma-cuma. Ku harap kami sudah berterima kasih dengan pantas.

Kembali ke persoalan screentime. Seiring berjalannya waktu, Radif semakin paham nikmatnya menonton. Radif yang mulanya tidak pernah secara langsung meminta, menjadi paham meminta jatah menonton. Sejak umurnya 2 tahun, kami memberinya jatah menonton hanya satu jam saja sesuai anjuran IDAI. Meski tentu saja sering kali bocor bila kami harus membawanya ke kantor. Bocornya pun kadang tak kira-kira. Jangan sangka kami tenang-tenang saja. Kami juga putar otak bagaimana caranya menyudahi penggunaan gadget secara amburadul ini pada anak. Paling tidak agar kebocorannya tidak berlebihan. Radif tidak ketergantungan sama sekali jika kami mampu menemaninya. Kamilah yang sangat bergantung pada gadget dalam pengasuhan anak. Radif sangat aktif selayaknya anak balita lainnya. Rasa ingin tahunya tinggi sekali. Dia tipe anak yang tidak suka hanya diam saja duduk sambil menonton karena dia akan bosan. Kami menghitung waktu dia bertahan diam menonton hanya setengah jam pada awalnya. Sisanya, kami harus meladeninya main. Entah menggambar, jalan-jalan keliling halaman kantor, melihat ikan di kolam atau mencari serangga di taman. Nah bagaimana bila pekerjaan kami sedang tidak dapat disambi sama sekali karena harus taat standar waktu? Kami merayu Radif agar mau menonton lebih lama. Meski tentu awalnya dia akan merengek minta turun dari high chair karena mulai bosan. Lama-lama dia menjadi baik-baik saja meski disuruh menonton dalam kurun waktu yang lama. Kami terbantu dan khawatir dalam satu waktu. Di sisi lain, kami dapat bekerja dengan tenang, di lain sisi ada hal besar yang harus segera kami atasi, yaitu memastikan anak tidak ketergantungan gadget

Kondisi tersebut ternyata tidak berlangsung lama, Radif makin besar makin enggak mau kalau hanya diminta duduk saja menonton. Dia mulai gelisah ingin keluar jalan-jalan. Di satu sisi kami merasa lega bahwa gadget bukan segalanya di dunianya. Namun sisi lainnya, kami kesulitan mengerjakan pekerjaan kantor. Aku mencoba mengalah untuk menemaninya. Beruntungnya, posisi kerjaku dipindahkan ke middle office. Posisi yang tidak langsung berhadapan dengan pelayanan. Kepindahan posisi ini sedikit banyak membantuku membersamai Radif lebih banyak. Kadang aku merasa, porsi waktuku di kantor lebih banyak ku gunakan untuk menemaninya main daripada bekerja. Aku tipe orang yang bisa bekerja dalam keadaan kepepet. Aku cukup perfeksionis. Aku tipe pekerja yang tidak akan tenang bila masih ada deadline pekerjaan yang belum selesai. Kondisi ini membuatku memaksa diri untuk bekerja lebih cepat. Aku selalu merasa bersalah apakah hasil pekerjaanku tersebut memuaskan atau tidak. Atasanku di kantor lama tidak pernah komplain sama sekali. Aku berusaha merespon perintah secepat yang aku bisa, meski sering kali aku minta maaf karena harus menemani anak sejenak. Privilege dimana-mana. Ku harap sekali lagi, aku sudah cukup layak berterima kasih pada semua yang berusaha memahami keadaan kami ini.

Pindah ke kantor baru, ku kira kami akan menyudahi penggunaan gadget dan mengalihkannya dengan dunia main selayaknya anak seusianya. Masuk sekolah atau daycare atau cukup ditemani pengasuh di rumah. Namun ternyata, pandemi membuyarkan semua. Kami masih harus melanjutkan episode mengajak anak ke tempat kerja. Ku kira segalanya akan sama. Ternyata jauh lebih sulit karena di tempat baru, Radif harus adaptasi lagi dengan orang-orangnya. Jika di kantor lama dia sudah akrab dan bisa dengan mudah mengajak main siapapun, tidak dengan di kantor baru. Semuanya adalah orang baru dengan kepentingannya masing-masing. Kami tentu tidak ingin kehadiran Radif di kantor membuat mereka merasa terganggu. Kami juga tidak ingin terkesan memanfaatkan keadaan dan bersikap tidak profesional. Di luar dugaan pula Radif semakin tidak suka disuruh hanya duduk menonton youtube. Dia akan dengan mudahnya bosan dengan kegiatan screentime. Seperti kataku, sebenarnya kondisi ini bagus dan melegakan karena berarti gadget bukanlah sepenuhnya dunia yang menguasainya. Namun di lain sisi itu juga, kami sungguh-sungguh kesulitan melakukan pekerjaan. Di sinilah aku merasa gagal. Di saat inilah aku merasa tidak adil menyerahkan pengasuhan pada youtube. Sepulang kerja, biasanya kami akan membaca buku dan bercengkerama bersama di kamar tanpa gadget. Namun di sini, lelah sepulang kerja, kami langsung tepar tanpa ada interaksi yang berarti dengan Radif. Aku lupa kapan terakhir kalinya rutin membacakannya buku. Aku lupa kapan terakhir kalinya antusias membelikannya buku cerita. Aku merasa bersalah namun fisikku tak sanggup berbuat apa-apa. Kami lelah dengan rutinitas kantor. Lelah dengan pengasuhan tanpa bantuan pengasuh dan pembantu. Pandemi ini benar-benar halangan terbesar dalam mengatur jam screentime anak.

Kemajuan teknologi yang pesat bukan berarti sepenuhnya juga menakutkan. Bukan juga kami ingin anak kami sama sekali tidak terpapar teknologi karena itu jelas tidak mungkin dan tidak adil untuknya. Zaman dia dan zaman kami tentu sudah jauh berbeda. Definisi ideal juga tentu berubah. Yang kami pikirkan adalah bagaimana kami bisa bijaksana dalam menggunakan kemajuan teknologi dalam pengasuhan anak. Disiplin tidaknya anak dalam urusan screentime tentu saja andil terbesarnya berada di tangan orang tuanya. Keluarga adalah madrasah pertamanya. Tidak mungkin membenahi lingkungan jika lingkaran utamanya sendiri belum berbenah. Aku dan suami masih belajar dan berusaha berdamai dengan gadget. Sulit sekali karena kami sendiri juga sangat bergantung pada gadget. Sulit tapi bukan berarti tidak bisa. Aku percaya, setiap orang tua normal pada dasarnya ingin yang terbaik untuk anaknya. Caranya saja yang berbeda. Aku percaya, orang tua normal akan terus berusaha berbenah dan mencari jalan terbaik agar anaknya tumbuh dengan baik. Siapa kita untuk menghakimi.

Sekarang, porsi penggunakan gadget Radif memang masih di luar jadwal normalnya. Namun kami masih berusaha memangkasnya sedikit demi sedikit. Konsistensi adalah kunci dan itu berat sekali, Kami kembali berusaha membersamainya bermain, menggambar, menulis, dan membaca cerita. Dia sebenarnya sangat antusias dibanding hanya diam menonton youtube saja. Aku yakin hati kecilnya sangat ingin selalu ditemani bermain oleh orang tuanya. Karena sesungguhnya, kado termewah yang bisa orang tua berikan kepada anak adalah waktunya dalam membersamainya. Tidak hanya kehadiran secara fisik namun hadir pula hati dan pikirannya untuk anak. Dan selalu ingat bahwa anak dapat merasakan itu. Kami berusaha mengingat dan menyadari bahwa waktu membersamai anak itu sangat singkat. Dia akan tumbuh besar dan sibuk dengan dunianya sendiri pada waktunya nanti. Dia akan tumbuh mandiri dan tidak lagi membutuhkan bantuan kita lagi, kecuali doa. Dan kami juga tidak ingin menyesalinya kelak karena tak cukup hadir dalam kesehariannya. Rasa bersalah itu kekal.

Continue reading Dilema Part II : Tentang Jadwal Screentime Anak dan Konsistensi Orang Tuanya

Toilet Training, Ujian Kesabaran Orang Tua

Hai semuanya, emak-emak satu ini mau curhat lagi soal dunia pengasuhan anak. Barangkali curhatan ini dapat memberikan pengalaman virtual bagi ibu-ibu lain yang sedang berjuang mengajari anaknya pipis dan pup di toilet juga. Sejujurnya, aku ini termasuk ibu-ibu yang sangat santai dalam hal ini. Mungkin karena aku lahir dari keluarga yang teramat santai dan tidak begitu menanamkan kedisiplinan sejak kecil. Dengan kata lain, aku dan adik-adikku cenderung dimanja asal rajin sembahyang, mengaji dan belajar dengan baik di sekolah. Aku sendiri bahkan baru berhenti mengompol saat sudah menduduki bangku kelas 2 SD. Ibu dan bapak cenderung berpikir semua anak pada akhirnya akan mandiri dan bisa sendiri ketika sudah di usianya. Alhasil, aku pun cenderung menggampangkan banyak hal. Bangun tidur semauku, ke sekolah sering terlambat, dan tidak punya kewajiban menyiapkan pakaianku sendiri. Ini bukan aku sedang mengkritisi cara pengasuhan orang tuaku ya. Tidak ada metode pengasuhan yang sempurna. Karena dengan begitu, kita jadi belajar menjadi lebih baik. Toh, semua yang telah ditanamkan padaku itulah yang membawaku menjadi aku yang sekarang. Aku sangat bahagia dan bersyukur lahir di keluargaku. Ku rasa, pembukaan ceritaku ini akan punya banyak korelasi kenapa aku begitu kaget dan kurang sabar dalam hal mengajari anak toilet trainingThat's gonna be a very long story to tell.

Radif kenal pospak atau diapers saat usia 4 hari. Sebelumnya, dia pakai popok kain seperti kebiasaan di keluargaku selama ini. Kenapa akhirnya beralih ke pospak? Radif kuning di hari 4 sehingga perlu dilakukan fototerapi di rumah sakit. Selama di sana, tentu dia dipakaikan pospak demi kepraktisan. Sejak keluar dari rumah sakit, aku jadi malas beralih kembali ke popok kain. Walaupun ya, selama itu yang mencucikan adalah ibuku. Aku dengan segala drama menyusui, yang mana mandi saja balapan, nggak pernah sempat sisiran, makan sambil menyusui anak, mana sempat mencuci popok dan pakaian anak. Ibuku dengan telaten menggantikan peranku itu. Ibuku merasa sayang kalau harus menghabiskan rupiah untuk pospak sementara ada yang lebih hemat, popok kain. Memang ku akui ya, newborn baby tuh boros sekali pospaknya. Dia mencret sedikit saja harus ganti. Sementara entah berapa kali dia mencret dalam sehari. Menurut ibuku, nanti saja kalau dia sudah agak besaran pakai pospak, misalnya pas udah mulai makan. Tapi ya bukan generasi milenial bila tak cinta kepraktisan. Ku pun belum punya kesadaran cinta bumi untuk tidak memakai pospak. Belum lagi, kadang kala ujian memakaikan anak popok kain adalah, saat dia baru saja ditidurkan, kita cenderung ingin ikut tidur, eh baru sebentar merem tiba-tiba oek-oek lagi karena pipis. Ku juga butuh istirahat, bun. Jadilah popok kain ku tinggalkan demi kewarasanku sendiri juga. 

Aku sebenarnya tahu ada yang namanya clodi alias cloth diapers. Benda itu adalah diapers tapi bahannya kain dan bukan popok sekali pakai alias washable. Lebih aman, hemat, dan tentu saja ramah lingkungan. Balik lagi, aku tak cukup waras untuk jadi mama rajin yang mencuci clodi saban hari. Janjiku, kelak anak kedua semoga aku bisa menerapkannya. 

Saat usianya menginjak satu tahun, aku dan suami mulai berpikir untuk mengajarinya pipis dan pup di toilet. Maka dengan semangatnya kami membeli perlengkapan toilet training, baik itu berupa toilet portable atau pispot maupun training pants. Namun ternyata, semangat membeli pritilan toilet training tidak sebanding dengan stok sabar mamanya. Dia pipis di training pants saja reaksinya biasa saja tidak merasa risih sedikitpun. Mengajarinya pipis artinya harus siap mengantarkannya pipis setiap 10 hingga 15 menit sekali. Khilaf sebentar, anaknya pipis di lantai. Begitu halnya dengan pup. Meskipun mengajarinya pup cenderung lebih mudah karena kita bisa mengenali kapan dia mulai kebelet pup. Beda dengan pipis, yang cenderung tidak ada tanda-tandanya.

Progres toilet training yang begitu lambat seperti jalanku menuju cita-cita, membuatku sempat putus asa. Untungnya, suamiku besar di keluarga yang cukup disiplin akan hal-hal seperti ini. Suamiku mengambil alih tugas mengajari anak pipis dan pup. Kami mulai rajin menaruhnya di pispot saat pipis. Ternyata ini lebih praktis meski harus mencuci pispot berkali-kali. Lari mengantarnya ke toilet saat mulai mengejan atau menunjukkan tanda-tanda akan pup. Kebetulan, anak kami punya jadwal makan yang cukup teratur, sehingga jadwal pupnya sedikit banyak bisa diprediksi. Lambat tapi pasti, anaknya mulai terbiasa pup di toilet. Proses ini berlangsung tidak sebentar, mungkin ada hampir 3 bulan kami setengah mati mengajarinya pup di toilet. Bersyukurnya saat pengasuhan beralih ke pengasuhnya, ajaran kami tersebut bisa diteruskannya dengan baik.  

Meskipun bsia melalui ajaran pup dengan baik, kami masih belum memiliki cara yang lebih efisien dalam mengajarinya pipis di toilet. Terlebih, sejak pengasuhnya berhenti kerja, kami harus membawa lagi anak kami ke kantor setiap hari. Mengajari pipis di kantor sambil bekerja tentu bukan pilihan yang praktis. Bagaimana jika dia mengompol di kantor? Akhirnya PR mengajari dia pipis sempat berhenti beberapa bulan. Then, pandemic struck. Kami pun mendapatkan kesempatan Work From Home. Nah, itu adalah awal dari segalanya. Semacam silver lining buat para ibu-ibu yang galau toilet training anaknya. Kata suamiku, "Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Mumpung kita bisa kerja dari rumah." Aku pun jadi kembali optimis kami bisa bekerja sama lagi mengajari Radif pipis di toilet.

Awal-awal memulai kembali, tentu rasanya berat dan lelah sekali. Radif mulai memakai celana kain sebagai pengganti diapers. Berulang kali mengepel lantai, mencuci celana bekas pipis, mengeringkan kasur kalau dia kelepasan pipis di atasnya, on repeat. Kalau diingat tuh kok ya bangga juga bisa melewatinya. Berbulan-bulan lamanya akhirnya dia berprogres. Dari jadwal pipis setiap setengah jam sekali, bergeser menjadi satu jam sekali, lalu bergeser menjadi dua jam sekali, hingga dapat kami jadwalkan dengan baik pipisnya. Kami mulai bisa memprediksi kapan dia harus diajak ke toilet. Biasanya setengah jam setelah minum susu atau sejam setelah minum air putih biasa. Saat kami berdua harus masuk kantor secara bersamaan, kami masih berusaha menggunakan jadwal yang sama. Meskipun sesekali pernah juga kelepasan pipis di lantai kantor yang berujung mamanya harus mengepel di kantor. Bahkan, salah satu atasan kami pernah kena ompol Radif juga. Pahala ya pak buat bapak. Memang selain harus banyak sabar, kadang juga harus tebal muka. 

Ohya, walaupun dalam keseharian Radif sudah bisa memakai celana kain, namun untuk urusan tidur tetap mengandalkan pospak. Kami mulai berani melepas pospaknya karena kebetulan saat itu aku lupa membawa pospak ke kantor. Lalu terbitlah niat menguji coba bobok siang tanpa pospak. Dan, berhasil pada percobaan pertama yang membuat mamanya optimis. Tentu setelahnya banyak sekali drama mengompol saat tidur siang, entah di kantor atau di rumah. Hal ini membawa konsekuensi tersendiri bagi orang tuanya. Menambah daftar kerjaan dan cucian. Nggak masalah, semua memang ada tahapannya bukan yang simsalabim langsung bisa. Kalau kami memutuskan menyerah saat itu, entah kapan dia berhasil pipis sendiri.

Berbulan-bulan lamanya kami melatih dia pipis di toilet. Walau jadwalnya membaik hari demi hari, namun Radif masih terbilang sangat jarang meminta pipis sendiri. Tentunya 95% adalah ajakan dan inisiatif kedua orang tuanya. Berbeda halnya dengan pup yang sudah dengan lancar dia meminta sendiri saat kebelet. Apapun itu, kami bersyukur dia bisa lepas pospak saat tidur siang. Untuk perkara lepas pospak saat tidur malam itu beda lagi ceritanya. Kata ibu-ibu lain, itu adalah puncak kesabaran dan komitmen orang tuanya dalam melatih toilet training anaknya. Merelakan jadwal tidur kembali tersisih untuk mengantarnya pipis di kala semua orang sedang terlelap. Wow, aku sudah pesimis untuk satu hal ini. Beberapa kali aku berpikir mungkin saat Radif berusia 4 tahun baru akan lancar prosesnya. Ternyata tidak. Berat tapi tidak seberat itu asal komitmen.

Awal kami memutuskan dia lepas pospak saat tidur malam juga karena kebetulan pospaknya habis dan aku lupa bilang ke suami. Akhirnya dengan segala risiko, kami mengajarinya bobok tanpa pospak. Hari pertama berhasil, sebuah tanda baik demi membuat orang tuanya optimis. Kami secara bergantian mengantarnya pipis. Ayahnya mendapat jadwal pukul 12.00 malam sedangkan mamanya pada pukul 03.00 dini hari. Hari-hari yang cukup membuat jadwal bobok malam kami sedikit terganggu. Beberapa kali kelepasan mengompol, beberapa kali harus menjemur kasur dan mencuci bekas ompol tak lantas membuat kami berhenti. Wow mungkin ini karena sudah merasa terlalu jauh berjalan. Sayang bila harus memulainya kembali.

Progres pipis malam cukup baik, setidaknya sampai dengan hari ini. Kami sudah lupa kapan terakhir kali kami memberli pospak. Jadwal pipsi malamnya mulai terarah. Biasanya kami harus bangun dua kali dalam semalam. Namun beberapa waktu belakangan, dia sudah mau berdamai untuk tidak minum menjelang tidur. Kami membebaskannya minum sepuasnya sebelum dia masuk kamar. Ketika jam bobok tiba dan masuk kamar, tidak ada lagi jatah minum. Karena belajar dari pengalaman, kebiasaannya minum sebelum tidur sungguh menyulitkan kami dalam mengatur jadwal pipis malamnya.

Apa Radif sudah lulus toilet training? Ku rasa masih cukup dini untuk menyebutnya. Dia baru semingguan ini benar-benar hanya pipis sekali dalam semalam tanpa mengompol. Lagi-lagi, belum dengan inisiatifnya sendiri. Aku baru akan memberinya label lulus toilet training saat dia dengan sadar sudah mau berinisiatif pipis di toilet baik saat terjaga maupun tidur. Tapi, mama dan ayah sudah sangat bangga dengan kemajuan Radif. Terima kasih ya, nak. Mari kita lanjutkan kebiasaan baik ini hingga Radif benar-benar mandiri. Percayalah, setiap tahapan yang kita dan anak kita lalui untuk siap menjadi individu mandiri akan sangat berarti di hidupnya kelak.

Continue reading Toilet Training, Ujian Kesabaran Orang Tua

Menyapih Radif, Weaning With Love

Radif disapih saat umurnya belum genap 26 bulan. Cukup dini menurutku. Sejujurnya, aku tidak terburu-buru ingin segera menyapihnya. Drama menyusui yang cukup menguras mental dan tenagaku tak lantas membuatku lekas ingin berhenti. Ada rasa sayang untuk mengakhiri segala bonding saat menyusui. Aku merasa bahwa memang proses menyusui adalah kedekatan dan kelekatan dengan anak yang paling tidak bisa digantikan. Menyapih berarti memisahkannya dengan sesuatu yang membuatnya begitu bergantung selama ini. That's why it feels so hard to end.

Sebenarnya, proses sounding dalam menyapih ini sudah ku lakukan sejak umurnya setahun. Kata beberapa pakar, hal utama yang sebaiknya dilakukan saat memulai proses penyapihan adalah sounding sedini mungkin. Kapan waktu yang tepat untuk sounding ini sangat bergantung dari kapan kamu ingin menyapih anakmu. Saat itu, jujur aku belum punya gambaran kapan aku siap menyapihnya. Sempat terpikir akan menyapihnya di usia 28 bulan. Tersebutlah aku memutuskan untuk melakukan sounding di usia setahun. Kalimat yang biasa ku sampaikan padanya adalah, "Radif, nanti kalau Radif sudah 2 tahun, Radif sudah tidak nenen lagi ya. Soalnya Radif sudah besar. Nenen cuma untuk bayi." Ditambah kata-kata, "Mama tetap sayang sama Radif walaupun udah nggak nenen lagi." Lalu ku peluk. Biasanya untuk memberi gambaran umur 2 tahun, aku menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil tepuk tangan. Responnya ya selayaknya bayi setahun, entah mengerti atau tidak mengerti tetap ku lakukan hampir setiap hari. Memang tidak serta merta rutin ku lakukan, tapi cukup sering menurutku. Tips pertama adalah, jangan pernah membohongi anak just to make him stop. Instead of, membohonginya kalau mamanya sakit atau alasan lain yang dibuat-buat, sebaiknya jujur saja pada anak tujuan dia disapih apa. Toh, pada akhirnya dia juga harus berhenti, jadi untuk apa membohonginya. Tidak perlu juga menggunakan cara-cara lama dengan mengoles benda-benda di area payudara agar rasanya berubah menjadi tidak enak. Menurutku justru itu akan mempersulit proses menyapih, terlebih jika bahan-bahan yang dioles adalah bahan-bahan berbahaya seperti balsem atau yang lain-lain. Menyapih adalah bagian dari proses dia bertumbuh. Menyapih adalah fase anak belajar menerima bahwa dia harus melepaskan sesuatu yang selama ini membuatnya bergantung. Sayang sekali bila kita merusaknya dengan melakukan hal-hal yang traumatis.

Saat umurnya 13 bulan, dia sempat rawat inap selama 2 minggu, include di dalamnya 6 hari di ICU karena Demam Shock Syndrome, ASI ku sempat tidak keluar dalam beberapa hari. Kondisi anak yang dipasang berbagai macam selang agar bisa bertahan hidup membuatku sangat down. Di kurun waktu itu, Radif harus minum susu formula melalui selang NGT. Baru setelah kondisinya jauh membaik, ASI ku bisa keluar lagi. Dampaknya setelah dia keluar dari rumah sakit adalah dia semakin bergantung pada mamanya. Tentu hal ini membuatku berhenti sejenak untuk melanjutkan sounding menyapih, I gave him time to lean on me more. Cause it's all what he needed. 

Bulan berganti bulan, proses sounding ku lanjutkan. Semakin bertambah usia, dia semakin mengerti bahwa sebentar lagi dia sudah tidak bisa minta nenen sesuka hatinya. Terlebih saat dia sudah mulai lancar bicara, dia sudah bisa menjawab kata-kataku, "Radif masih bayi, Radif mau nenen." Begitu terus setiap mamanya sounding. Orang-orang sekitarku membantuku untuk sounding kepada Radif dengan caranya masing-masing. Jawaban Radif juga konsisten, "Radif masih bayi, Radif mau nenen." Satu hal yang selalu ku ingat, menghadapi anak harus konsisten apapun yang terjadi. Semakin kita tidak konsisten, semakin sulit pula bernegosiasi dengan anak. Anak seusia itu sedang membangun konsep pada otaknya. Otaknya sudah belajar mengerti sebab akibat. Terlebih bila sudah memasuki fase terrible two, usia 2 tahun dimana dia mulai bisa merajuk menjadi tantrum. Tinggal siapa di sini yang lebih kuat berpendirian, orang tua atau anak. Itu yang akan mempengaruhi pola komunikasi dengan anak selanjutnya.

Nah, sebenarnya selama proses sounding ini tidak ada masalah sama sekali. Tidak ada hal yang membuatku pusing. Mungkin karena masih dalam bentuk sounding, belum di tahap eksekusi. Tibalah saat usianya genap 2 tahun. Dia mengerti bahwa dia sudah tidak bisa leluasa minta nenen. Saat itu, aku sudah membatasi kuantitas dia nenen, yaitu hanya sebelum tidur siang dan tidur malam. Sejauh ini, tidak ada hambatan berarti. Memang, tetap ada waktu tidak konsisten. Ada kalanya saat dia rewel yang tidak biasa di tempat kerja, aku memberinya nenen sebagai opsi terakhir. Tentu ini bukan hal yang baik. Tapi aku percaya memang tidak semua proses akan sempurna lancar. Ada kalanya kita harus menghadapi sedikit gangguan.

Di usianya yang ke 25 bulan, dia sempat rawat inap selama 2 hari di rumah sakit karena tipes. Kali ini, dia rewel bukan main. Merasa tidak nyaman diinfus dan bosan dengan keadaannya yang hanya terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa kali, suster mengizinkan kami mengajaknya jalan-jalan keliling rumah sakit dengan selang infus yang masih tergantung. Semenjak keluar dari rumah sakit, tiada hari tanpa rewel dan tantrum. Dia hanya mau nenen dan nenen, nempel sama mamanya sepanjang hari. Kami mengira bahwa dia masih merasakan sakit namun tidak bisa menjelaskannya pada kami. Aku dan suami sempat putus asa karena setiap hari dia rewel sekali sampai dengan dini hari. Membuat tetangga ikut kebingungan. Salah satu tetangga akhirnya inisiatif mengajak Radif jalan-jalan naik mobil tengah malam. Di luar dugaan kami, dia ceria dan berhenti menangis. Lalu dari sanalah kami menyimpulkan, Radif rewel bukan karena sakit. 

Aku dan suami semakin mantap dan sepakat untuk segera menyapihnya agar dia tidak lagi bergantung pada nenen. Hari pertama menyapih, sepanjang hari dia masih bisa menerima saat ditolak minta nenen. Nah, tibalah saat jam bobok malam, dia masih merajuk minta nenen. Awalnya saat ditolak dia agak merengek, namun saat ku tawari mau dipukpuk atau digendong, dia mengalah minta digendong. Di luar dugaan kami, dia tertidur dengan mudah dalam gendongan. Aku sungguh tidak menyangka dapat menyapihnya begitu saja tanpa drama, tanpa perlu cuti kerja untuk menemaninya. Aku menangisinya saat melihatnya tertidur tanpa nenen. Aku yang merasa kehilangan momen-momen itu. Rasanya seperti tidak percaya bayi kecilku akhirnya lepas nenen. Ada rasa sedih yang tidak bisa ku jelaskan hingga membuatku nangis sesenggukan. Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa tanpa nenen. Dia sudah bisa menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak bisa nenen lagi meski beberapa kali sempat merajuk manja. But, there's no way back. Thank you for making it easier, Son. We did it. 
Continue reading Menyapih Radif, Weaning With Love

Pindah : Sebuah Ironi tentang Kesenangan dan Kebingungan

Mengutip kata-kata senior yang tak bosan-bosan ku dengar di semua tempat yang berbunyi, semua akan pindah pada waktunya. Seringnya, kata-kata ini jadi penghibur kaum yang kebetulan bertugas jauh dari kampung halaman. Di sisi lain, menurutku kata-kata ini justru semakin membuatku tidak sabar menanti giliran pindah. Berharap tempat selanjutnya adalah kota kelahiran, atau minimal yang mendekati. Apapun lah agar hidup di rantau tidak sedemikian berat dirasa.

Akhir tahun lalu, suamiku mendapatkan kesempatan pindah ke salah satu kota di pesisir selatan Pulau Jawa. Kaget dan senang dalam satu waktu. Ini tuh beyond expectation. Kami mengira, seperti yang sudah-sudah, kami akan dipindahkan ke Jakarta. Istilahnya bedol desa seangkatan. Mayoritas teman-teman kami seangkatan mengisi spot kosong pada berbagai kantor di ibu kota. Sementara aku dan suamiku diberi kesempatan pindah tak jauh dari kampung halamanku di Klaten. Sebuah berkah di tengah pandemi. Apakah kepindahan ini serta merta mulus, lancar, dan bahagia tanpa cela? Oh jangan lupa, selama tanah yang kamu pijak masih di bumi dan bukan di surga, tidak ada yang sempurna, tidak akan pernah ada. 

Ini adalah kali ketigaku pindah kota, kali kelima kalau dihitung dari OJT, sekaligus kali keduaku mutasi. Dulu, aku hanya pindah membawa diriku seorang. Kini, kami pindah satu paket, aku, suami, dan anak balita. Di hari-hari rutinku sebelum itu, aku selalu membayangkan bagaimana nanti jika pindah dari pulau kecil itu. Barang-barang apa saja yang akan ku angkut atau ku jual atau ku ikhlaskan begitu saja. Butuh berapa banyak biaya untuk mengangkutnya ke tempat baru. Iya, ku bayangkan saja tanpa pernah ku hitung atau ku list sejak awal. Karena bagiku, menatausahakan barang-batang tersebut sebelum SK keluar adalah sebuah bentuk memberikan harapan kosong pada ekspektasiku sendiri. Dan aku tak mau itu membuatku bete tanpa alasan.

Hingga harinya tiba, aku bingung. Aku senang, tapi juga bingung. Aku harus memulainya darimana. Aku bingung menentukan prioritas. Aku merasa jadi kayak orang tak berpengalaman begini dalam urusan packing. Padahal hidup kami isinya pack and unpack barang tiap saat. Ritme pekerjaan akhir tahun yang cukup menyita waktu dan tenaga kami, menyisakan lelah saja setibanya di rumah. Badan tidak mau diajak begadang barang sejenak untuk mencicil bawaan. Capek. Aku masih ingat akhir tahun lalu aku dan suamiku harus beberapa kali lembur menyelesaikan pekerjaan, belum lagi aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebagai syarat aku bisa mengajukan pindah mengikuti suami. Tidak hanya itu, risiko kami juga bekerja mengajak anak balita yang sedang aktif-aktifnya. Menyelesaikan berbagai deadline sambil menanggapi ajakan main anak, tidak menyangka aku berhasil melewatinya. 

Suasana acara perpisahan

Minggu terakhir kami masuk kantor, proses packing dan mengirim barang belum usai. Hari terakhir di kantor, malamnya kami mengikuti acara perpisahan dengan kondisi packing belum selesai. Bubarannya sudah tengah malam, aku menyuruh suamiku tidur duluan dan ku lanjutkan packing sendiri dengan harapan kami semua tidak dalam kondisi habis tenaga dan kurang tidur keesokan harinya. Seenggaknya saat besuk aku tepar di jalan, dia bisa menghandle semua hal sendiri. Sadly, ternyata proses packing lebih ribet dari yang ku pikir. Hingga menjelang subuh belum juga selesai padahal kami ada flight pagi. Suamiku bangun dan menyuruhku istirahat barang sejam. Aku bangun dengan kondisi masih banyak yang harus ku bereskan. Kami dihubungi oleh orang-orang kantor. Memastikan persiapan kami selesai dan proses check in beres. Mengetahui kami masih riweuh dengan barang-barang, berbekal koneksi dengan pihak bandara, rekan-rekan kantor mengurusi proses check in di bandara hingga selesai. Kami datang mepet jam boarding berkat bantuan rekan-rekan kantor yang sudah setia menunggu kedatangan kami. Barang-barang kami dibantu masuk ke bagasi. Beruntung, tidak ada kelebihan muatan sehingga kami tidak perlu menambah biaya.

Foto bersama di samping bandara Umbu Mehang Kunda

Sebuah foto yang ku abadikan untuk menghargai kebaikan-kebaikan mereka semua hingga di detik-detik terakhir kami pindah dari pulau kecil itu. Rekan-rekan kantor, stakeholder dan semua orang yang secara langsung maupun tidak langsung membantu kepindahan kami. Tidak lupa juga ku beritahu bahwa beberapa barang kami belum sempat terbawa dan akan dibantu pengurusannya oleh rekan kantor. Ku rasa, terima kasih saja tidak akan pernah cukup.

Apakah rangkaian kepindahan kami hanya sampai di situ? Sayangnya tidak. Kami sempat perlu transit Bogor selama hampir 2 minggu untuk menghadiri pernikahan adik iparku, alias adik kandung suamiku. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Penerbangan ke Jakarta on time, transit Bali tidak ada drama berarti meski harus was-was kerumunan, tiba di Jakarta langsung dapet grab ke Bogor dengan protokol kesehatan alias mobilnya dikasih pembatas. Kebetulan sejak pandemi, Jakarta-Bogor cukup lengang. Sampai di rumah, langsung mandi, ganti baju. Keesokan harinya menghadiri pernikahan adik ipar. Habis itu lebih banyak menghabiskan waktu stay at home sambil banyak-banyak order gofood atau menikmati masakan mertua. Kami sempat staycation di salah satu penginapan jauh dari keramaian kota. Cukup menyenangkan meski lelah sekali karena sambil jagain anak balita yang maunya gerak terus. Lain kesempatan, staycationnya mungkin akan cari yang dekat rumah saja.

Tahu tidak? Aku dan suamiku cukup kalem dan santai sekali padahal kami belum dapat kontrakan di Cilacap. Belum tahu mau mudik naik apa. Tapi yaudah gitu aja menjalani hari-hari di Bogor kayak bakal tinggal lama di situ. Tiap ditanya orang, gimana rencana kalian? Cuma bisa cengengesan hehehe saja karena jujur bingung banget pindahan pas pandemi begini.

Awalnya, kami akan mudik menggunakan kendaraan pribadi, bareng sama adik-adikku yang juga akan mudik akhir tahun. Tapi ternyata, karena satu dan lain hal, mereka sudah berangkat duluan. Lalu terpikirlah untuk menyewa mobil travel ke Cilacap. Nah, di Cilacap nanti bagaimana mobilitasnya? Bingung lagi, hehehe dasar anaknya kadang suka spontanitas. Akhirnya, dengan segala risiko, di detik-detik terakhir kami memutuskan saja naik pesawat ke Solo via Halim karena Soetta udah kayak lautan manusia hilir mudik. Kami sudah pernah ke Halim sebelumnya dan menurutku lebih efisien perjalanannya. Tak perlu takut telat karena jaraknya lebih dekat. Dengan bawaan sebanyak orang pindahan, kami memutuskan naik grab family

Tiba di Solo, kami dijemput oleh adik dan ibuku. Karena hanya punya waktu 2 hari sebelum masuk kantor baru, kami ke Klaten hanya transit beberapa jam saja untuk istirahat siang dan makan serta mengambil beberapa barang. Sorenya, kami langsung bergegas ke Cilacap menggunakan mobil berbekal google maps. Kami sempat salah ambil rute karena rute tersebut ternyata melewati medan yang sepi dimana hutan berada di kanan kiri kami. Papasan dengan kendaraan lain bisa dihitung dengan jari. Cukup seram sih untung tidak sendiri. Karena beberapa kali berhenti untuk sholat, makan, maupun ke toilet karena Radif kebelet pup di jalan, kami baru tiba di Cilacap tengah malam. Kalau dihitung lurus jamnya, perjalanan itu kami tempuh selama hampir 7 jam. Lama karena ya itu tadi, sering berhenti. Aku sudah booking hotel tak jauh dari kantor. Lumayan untuk melepas lelah dan bisa sarapan gratis keesokan harinya. 

Karena kami hanya punya sisa waktu sehari itu saja, hari itu langsung kami gunakan untuk mencari tempat tinggal. Beruntung, kami menemukan rumah kontrakan yang masih bersih dan baru serta harga terjangkau. Selain itu yang melegakan, tempatnya tak jauh dari kantor serta fasilitas umum lainnya. Rejeki anak-anak mageran. Terima kasih pada doa ibu dan mama kami.

Hari-hari berikutnya kami isi dengan proses adaptasi di sana sini, belanja isi kontrakan, belanja kebutuhan sehari-hari, ke kantor sambil bawa anak lagi karena belum menemukan pengasuh, belajar menghafal jalan, dan lain sebagainya. Intinya, selama satu bulan lebih di sini, masih banyak sekali hal yang harus kami kerjakan sampai bisa settled. Belum lagi, dana darurat terkuras. Banyak hal yang bisa disyukuri di tengah pandemi. Pindah ke kota dekat kampung halaman. Mendapatkan kemudahan dalam banyak hal. Bertemu orang-orang baik di banyak tempat. Namun, hal ini membuatku menarik sebuah kesimpulan. Pindah itu juga sebuah ironi tentang kesenangan maupun kebingungan. Senang mendapatkan SK mutasi ke Jawa, tapi bingung mulai darimana. Bingung adaptasi lagi. Bingung sama pengeluaran yang membengkak di awal kepindahan, serta kebingungan-kebingungan lainnya yang dirasakan orang pindahan. Sering kali tiap ditanya orang-orang di jalan, jawaban kami hanya bisa bilang, maaf pak/bu kami baru pindah. Privilage tuh macam-macam bentuknya, bisa tinggal menetap di kota kelahiran juga sebuah privilage. Tapi hidup tidak selalu tentang menggunakan privilage, lebih seringnya hidup adalah pilihan meninggalkan privilage demi pilihan hidup lain yang memang sudah takdirnya begitu. Mengeluh atas segala keadaan dan rasa lelah yang ada bukan berarti tidak bersyukur. Kembali lagi, apapun keadaan yang kita dapat, tidak akan pernah kita terima dengan kondisi 100% sempurna. Selalu ada cerita lain di balik layarnya. I feel happy and content yet tired at the same time and that's perfectly fine.

Continue reading Pindah : Sebuah Ironi tentang Kesenangan dan Kebingungan
, ,

Cara Mendaftar RDN melalui Aplikasi IPOT dari Perusahaan Sekuritas Indopremier

Hai semua, bagaimana kabarnya di tengah Pandemi COVID-19 ini? Adanya pemberlakukan new normal yang membuat seluruh lapisan masyarakat harus instan beradaptasi juga lantas membuat kabarku tidak sedang baik-baik saja. Ketidakpastian di segala sektor membuatku khawatir pada nasib orang-orang tersayangku. Terutama di sektor perekonomian. Belum lagi, sudah berbulan-bulan lamanya aku dan keluarga kecilku tidak bisa pulang ke kampung halaman, termasuk melewatkan momen mudik lebaran. Merasa sedikit putus asa berada di tengah Pulau terpencil ini tanpa ada kejelasan akan sampai kapan kondisi pandemi ini berakhir dan semuanya kembali normal. Sejauh ini yang kita lihat, kondisi baru yang disebut new normal justru nampak menunjukkan perkembangan yang kurang baik. Berita adanya penambahan kasus positif setiap hari justru hanya ditanggapi dengan abai oleh masyarakat yang mulai lelah dan bosan. Membuatku sedikit pesimis semua akan segera berakhir. Nah, di tengah ketidakpastian ini, aku mencoba menghibur diri. Mencari kesibukan lain agar tidak terlalu bersedih meratapi new normal yang masih belum sepenuhnya ku adaptasi ini. Salah satunya adalah belajar investasi saham.

Sebenarnya, sudah lama aku tertarik dengan investasi yang katanya termasuk ke dalam kategori high risk high return ini. Namun keengganan belajar membuatku terus menunda-nunda. Beberapa bulan ini aku sedang mencoba rajin berinvestasi agar bisa mencapai kondisi financially settled. Mulai dari reksadana, emas, hingga Surat Berharga Syariah Negara sudah aku coba meskipun belum begitu konsisten. Namun setidaknya aku sudah mulai. Nah, gara-gara pandemi inilah aku merasa punya kesempatan untuk banyak belajar karena adanya pemberlakuan Work From Home yang membuatku mempunyai lebih banyak waktu senggang. Mengapa akhirnya aku berani berinvestasi saham? Hal ini dikarenakan kondisi indeks harga saham gabungan (IHSG) sudah menunjukkan kenaikan setelah terperosok cukup dalam karena pandemi ini. Setelah melihat IHSG mulai stabil, aku mulai berani membuka rekening untuk investasi saham. Di sinilah perjalanan investasi sahamku dimulai.

Pertama, aku menentukan perusahaan sekuritas mana yang akan ku jadikan tempat membuat RDN (Rekening Dana Nasabah). Kalian bisa mencari tahu sendiri nama-nama perusahaan sekuritas di google. Sesuaikan dengan kemampuan dan keadaan kalian. Proses milihnya ya sama kayak kita lagi memilih mau naruh uang kita di bank mana. Bedanya, ini tempat untuk menaruh dana investasi kalian. Nah, pilihan ku jatuhkan pada Indopremier setelah mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya. Pertimbangan utama mengapa memilih Indopremier adalah pendaftaran rekening dapat dilakukan secara online dari mana saja dan tanpa setoran awal alias gratis sama sekali. Posisiku yang sedang berada jauh dari ibu kota membuatku kerepotan jika harus mendaftar secara manual dengan pengiriman berkas dan lain sebagainya melalui pos. Makanya, Indopremier menjadi jalan ninjaku. Untuk panduan lengkap terkait pengetahuan dasar investasi saham, kalian bisa membacanya pada highlight instagram ngertisaham, cukup bacanomor 1-7 sudah akan menjawab pertanyaan awal kalian dalam memulai investasi saham.

Kedua, aku langsung mengunduh aplikasi IPOT melalui Google Playstore untuk pengguna Android (bagi pengguna Iphone, kalian bisa mengunduh aplikasi IPOT ULTIMA melalui Apple Store). Ohya, belum lama ini Indopremier melaunching Aplikasi IPOT terbaru, lho. Sebelumnya pengguna lama menggunakan Aplikasi IPOTGO dan turunannya. Nah, untuk memantau pergerakan saham, aku juga mengunduh Aplikasi Stockbit dan RTI. Jangan lupa juga follow akun instagram Indopremier untuk panduan lengkapnya.

Ketiga, kalian hanya membutuhkan KTP dan NPWP (optional) saja. Isi formulir pendaftaran melalui Aplikasi IPOT terbaru sesuai data diri kalian. Pastikan kebenarannya agar permintaan pendaftaran kalian dapat segera diproses. Isiannya pendaftarannya tidak terlalu banyak, mudah, cepat dan sangat user friendly. Kalian harus menyelesaikan pengisian formulir ini mulai dari unggah e-KTP, Foto selfie membawa KTP, scan tanda tangan hingga video call komitmen pembukaan rekening. Ikuti saja sesuai arahan aplikasi.

1. Klik pada bagian Registration untuk mulai mendaftar
Tampilan Interface Aplikasi IPOT terbaru
2. Isi seluruh formulir pendaftaran dimulai dari informasi awal di bawah ini.
Masukan alamat email dan nomor ponsel kalian yang masih aktif
Isian ini penting sekali karena akan berhubungan dengan proses verifikasi data, pengiriman data rekening hingga pengiriman kode OTP. Jadi pastikan kalian mendaftarkan alamat email dan nomor ponsel kalian yang masih aktif.

3. Setelah isian pertama tadi, selesaikan proses pengisian seluruh formulir yang diminta, termasuk unggah e-KTP, Foto selfi membawa e-KTP sejelas mungkin, scan tanda tangan kalian sejelas mungkin, hingga melakukan video call dengan membaca kalimat konfrimasi sesuai permintaan yang tercantum pada aplikasi. Setelah dirasa sudah lengkap dan sesuai, kalian dapat mengakhiri proses pendaftaran hingga pada tampilan seperti ini.
Tampilan selesai
4. Menunggu adanya email pemberitahuan terkait pembuatan single identification (SID) di KSEI, dan pembuatan Rekening Dana Nasabah. Untuk pembuatan Rekening Dana Nasabah, biasanya memakan waktu hingga 2x24 jam sesuai pengalamanku kemarin. Bila sesuai jangka waktu itu kalian belum mendapatkan email pemberitahuan terkait Rekening Dana Nasabah, kalian bisa menghubungi email support@indopremier.com untuk meminta bantuan.

Konfirmasi persetujuan elektronik

Pemberitahuan sedang dibuat SID dan RDN



5. RDN diterima melalui email dan kalian sudah bisa mulai membeli saham melalui Aplikasi IPOT. Jangan lupa untuk melakukan top up dana dulu ya ke RDN kalian. Caranya sangat mudah, sama seperti kalian transfer ke rekening biasanya. Nomor yang kalian transfer adalah nomor RDN yang tercantum pada Aplikasi IPOT pada bagian account information atau yang ada pada pemberitahuan email. Nominalnya bebas sesuai kebutuhan kalian.

RDN telah jadi, selamat berinvestasi
Terkadang proses dana tidak langsung masuk ke RDN, kalian bisa menunggu hingga 2x24 jam. Selama ini, aku masih lancar sih, transfer langsung masuk. Aku pernah baca memang kadang-kadang tidak langsung masuk dananya, kalian bisa menunggu dulu. Ohya, jangan lupa bahwa transaksi pembelian dan penjualan saham ada jam kerjanya. Biasanya ada dua sesi, kalian tidak perlu selalu memantau saham kalian. Apalagi jika tujuan investasi kalian adalah jangka panjang, tidak perlu risau bila saham kalian sedang merah atau turun. Selama dalam batas toleransi kalian, cukup ditahan saja. Demikian sedikit gambaran dariku, semoga dapat membantu dan menginspirasi kalian untuk segera mulai berinvestasi. Semoga kita bisa menjadikan investasi sebagai salah satu passion kita. Melakukan investasi saham berarti kamu selalu berharap perekonomian negara kita mengalami kenaikan. Semakin naik akan semakin baik. Berbeda dengan bermain forex yang justru berharap nilai rupiah jatuh.

Continue reading Cara Mendaftar RDN melalui Aplikasi IPOT dari Perusahaan Sekuritas Indopremier
, ,

Review Hotel: Swiss-Belinn Kristal Hotel, Kupang

Hai semua, kemarin aku baru saja menulis pengalamanku jalan-jalan ke kota Kupang untuk pertama kalinya. Nah, kali ini aku mau maraton mereviu beberapa hotel yang aku pernah menginap. Ada beberapa hotel yang kebetulan masih ada dokumentasi fotonya, jadi sayang kalau tidak diposting. Aku postingnya agak lambat karena pakai laptop lamaku yang umurnya udah hampir 10 tahun. Mengetik sambil tak berhenti mengucap istighfar karena lemot sekali astaga. Oke, kita langsung saja mereview salah satu hotelnya.

1. Harga dan Cara Pesan  
Radif lagi santai
Hotel pertama yang akan aku review adalah Swiss-Belinn Kristal Hotel, Kupang yang baru bulan lalu ku pakai untuk staycation. Rate aplikasi adalah 8/10. Untuk menginap di hotel ini, kalian bisa memesannya secara online melalui aplikasi yang kalian punya. Harga sewanya bisa jadi bervariasi antara aplikasi yang satu dengan yang lainnya, tergantung tipe kamar dan tanggalnya juga. Kebetulan aku pakai aplikasi Traveloka. Harga sewa pada aplikasi tersebut adalah sekitar Rp400.000 untuk Superior, Rp500.000 untuk Deluxe, Rp750.000 untuk Grand Deluxe, dan Rp1.050.000 untuk Club Suit. Kalian bisa pilih sendiri mau yang mana.

2. Lokasi Hotel

Hotel ini lokasinya cukup strategis. Kalian bisa melihat daftar lokasi populer di sekitar hotel seperti Barelo Restaurant and Coffee-shop yang hanya berjarak 4 meter saja, 732 meter dari Pura Obananta, 8 km dari Bandara El-Tari, sekitar 1,9 km dari Taman Nostalgia, dan 948 meter dari Pelabuhan Kupang. Selain itu, jaraknya juga tidak terlalu jauh dari aneka ragam tempat makan, dekat dengan gereja dan masjid, dan mudah menjangkau Lippo Mall. Bahkan, kolam renang dan pusat hiburan Subasuka serasa tinggal melangkah saja jaraknya. Kalian juga akan menemukan Pantai Pasir Panjang tak jauh dari hotel ini. Lebih lengkapnya dapat kalian lihat sendiri di google maps.

3. Fasilitas Kamar

Lobi hotel ini tidak begtu besar. Tidak ada lift di sini. Setelah tiba dan melapor ke resepsionis, kalian akan langsung di antar oleh bellboy ke kamar kalian. Kebetulan kamarku lokasinya agak jauh karena di gedung baru. Hotelnya memang sedang proses renovasi. Aku memilih tipe kamar Superior untuk 3 malam. Fasilitas yang aku dapatkan antara lain no smooking room, ranjang besar ukuran queen size, kulkas, wardrobe, meja kerja yang ada cerminnya, sepasang kursi santai dengan mejanya, tempat koper, telepon, televisi flat dengan saluran terbatas, kamar mandi pribadi dengan shower dan bathtub, handuk dan toiletris gratis, sandal hotel satu pasang, sepasang botol minum yang di-refill tiap hari, kopi, teh dan gula sachet beserta pemanasnya dan tak lupa sarapan gratis.
Ranjangnya queen size
Sandalnya dipakai Radif
Ada meja kerja dengan cerminnya
Wastafel dan toiletris, bersih dan kering tempatnya
Bathtub di kamar mandi
Kamarnya cukup luas dengan ukuran luas 32 meter persegi dengan view halaman parkir, my bad luck. Lantai kamarnya dilapisi karpet, nyaman dan bersih. Anak-anak dapat bermain-main dengan bebas karena terasa lebih empuk. Kalian dapat meminta cleaning service membersihkan kamar kalian dengan menggantung tulisan "Please make up my room" yang telah tersedia pada pegangan pintu luar. Handuk, keset, dan toiletris  diganti tiap hari. Aku agak tidak beruntung karena kulkas di kamar 1022 tidak dingin alias rusak. Kami sudah meminta petugas memperbaiknya namun tidak bisa. Petugas menyuruh kami untuk minta tukar kulkas ke layanan hotel.  Karena terlalu malas, kami lupa melakukannya. Alhasil sampai selesai menginap, kulkas tidak pernah terpakai.

4. Makanan Hotel

Berhubung kami memesan kamar dengan sarapan, kami mendapat voucher sarapan gratis untuk 2 orang, anak bayi tidak perlu voucher. Sarapan dimulai pukul 06.00-10.00 WITA. Restorannya berada di samping meja resepsionis. Lokasinya menghadap langsung dengan pantai dan kolam renang sehingga dapat menikmati pemandangan laut sembari makan. Menu yang disajikan cukup lengkap mulai dari nasi putih, nasi goreng, bubur ayam, lauk dan sayur beraneka macam, aneka snack dan minuman. Puas dan enak untuk ukuran NTT menurutku. Sembari makan, kalian juga akan dihibur dengan alunan musik sasando yang memainkan lagu-lagu pop lokal.
om pemain sasando
Selain itu, kalian juga bisa pesan makanan ke kamar kalian lewat telepon yang terhubung langsung dengan restoran hotel. Daftar menunya dapat kalian lihat di meja kamar kalian. Aku sempat pesan nasi goreng untuk makan siang Radif. Rasanya lumayan enak, porsinya banyak, lauknya macem-macem, masaknya cepet langsung diantar ke kamar, dan harganya lumayan terjangkau. Alternatif kalau mager keluar atau sedang tidak bisa keluar kamar sepertiku.
View dari restoran (source: tripadvisor)
5. Layanan lain

Hotel ini menyediakan kolam renang yang pemandangannya langsung ke arah laut. Sayangnya kemarin kami tidak sempat mencobanya karena hujan. Banyak lopo atau gazebo di pinggir kolam untuk tempat berteduh mengintip laut.
Contoh gazebonya, bersih
Kolam renang
Ada fasilitas antar jemput bandara juga, namun kami tidak tahu itu berbayar atau gratis, lagipula mencari grabcar di situ juga mudah dan cepat kok. Nah, kira-kira begitulah pengalamanku menginap di hotel ini. Lumayan berkesan sih, walau sempat underestimate karena ini hotel lama. Untungnya udah proses renovasi dan bersih. Cukup pantas mendapatkan rate 8/10. Tapi kalau ke Kupang lagi mungkin aku akan mencoba menginap di hotel lain agar tidak bosan. Bagaimana menurut kalian, tertarik mencobanya?
Continue reading Review Hotel: Swiss-Belinn Kristal Hotel, Kupang