Toilet Training, Ujian Kesabaran Orang Tua

Hai semuanya, emak-emak satu ini mau curhat lagi soal dunia pengasuhan anak. Barangkali curhatan ini dapat memberikan pengalaman virtual bagi ibu-ibu lain yang sedang berjuang mengajari anaknya pipis dan pup di toilet juga. Sejujurnya, aku ini termasuk ibu-ibu yang sangat santai dalam hal ini. Mungkin karena aku lahir dari keluarga yang teramat santai dan tidak begitu menanamkan kedisiplinan sejak kecil. Dengan kata lain, aku dan adik-adikku cenderung dimanja asal rajin sembahyang, mengaji dan belajar dengan baik di sekolah. Aku sendiri bahkan baru berhenti mengompol saat sudah menduduki bangku kelas 2 SD. Ibu dan bapak cenderung berpikir semua anak pada akhirnya akan mandiri dan bisa sendiri ketika sudah di usianya. Alhasil, aku pun cenderung menggampangkan banyak hal. Bangun tidur semauku, ke sekolah sering terlambat, dan tidak punya kewajiban menyiapkan pakaianku sendiri. Ini bukan aku sedang mengkritisi cara pengasuhan orang tuaku ya. Tidak ada metode pengasuhan yang sempurna. Karena dengan begitu, kita jadi belajar menjadi lebih baik. Toh, semua yang telah ditanamkan padaku itulah yang membawaku menjadi aku yang sekarang. Aku sangat bahagia dan bersyukur lahir di keluargaku. Ku rasa, pembukaan ceritaku ini akan punya banyak korelasi kenapa aku begitu kaget dan kurang sabar dalam hal mengajari anak toilet trainingThat's gonna be a very long story to tell.

Radif kenal pospak atau diapers saat usia 4 hari. Sebelumnya, dia pakai popok kain seperti kebiasaan di keluargaku selama ini. Kenapa akhirnya beralih ke pospak? Radif kuning di hari 4 sehingga perlu dilakukan fototerapi di rumah sakit. Selama di sana, tentu dia dipakaikan pospak demi kepraktisan. Sejak keluar dari rumah sakit, aku jadi malas beralih kembali ke popok kain. Walaupun ya, selama itu yang mencucikan adalah ibuku. Aku dengan segala drama menyusui, yang mana mandi saja balapan, nggak pernah sempat sisiran, makan sambil menyusui anak, mana sempat mencuci popok dan pakaian anak. Ibuku dengan telaten menggantikan peranku itu. Ibuku merasa sayang kalau harus menghabiskan rupiah untuk pospak sementara ada yang lebih hemat, popok kain. Memang ku akui ya, newborn baby tuh boros sekali pospaknya. Dia mencret sedikit saja harus ganti. Sementara entah berapa kali dia mencret dalam sehari. Menurut ibuku, nanti saja kalau dia sudah agak besaran pakai pospak, misalnya pas udah mulai makan. Tapi ya bukan generasi milenial bila tak cinta kepraktisan. Ku pun belum punya kesadaran cinta bumi untuk tidak memakai pospak. Belum lagi, kadang kala ujian memakaikan anak popok kain adalah, saat dia baru saja ditidurkan, kita cenderung ingin ikut tidur, eh baru sebentar merem tiba-tiba oek-oek lagi karena pipis. Ku juga butuh istirahat, bun. Jadilah popok kain ku tinggalkan demi kewarasanku sendiri juga. 

Aku sebenarnya tahu ada yang namanya clodi alias cloth diapers. Benda itu adalah diapers tapi bahannya kain dan bukan popok sekali pakai alias washable. Lebih aman, hemat, dan tentu saja ramah lingkungan. Balik lagi, aku tak cukup waras untuk jadi mama rajin yang mencuci clodi saban hari. Janjiku, kelak anak kedua semoga aku bisa menerapkannya. 

Saat usianya menginjak satu tahun, aku dan suami mulai berpikir untuk mengajarinya pipis dan pup di toilet. Maka dengan semangatnya kami membeli perlengkapan toilet training, baik itu berupa toilet portable atau pispot maupun training pants. Namun ternyata, semangat membeli pritilan toilet training tidak sebanding dengan stok sabar mamanya. Dia pipis di training pants saja reaksinya biasa saja tidak merasa risih sedikitpun. Mengajarinya pipis artinya harus siap mengantarkannya pipis setiap 10 hingga 15 menit sekali. Khilaf sebentar, anaknya pipis di lantai. Begitu halnya dengan pup. Meskipun mengajarinya pup cenderung lebih mudah karena kita bisa mengenali kapan dia mulai kebelet pup. Beda dengan pipis, yang cenderung tidak ada tanda-tandanya.

Progres toilet training yang begitu lambat seperti jalanku menuju cita-cita, membuatku sempat putus asa. Untungnya, suamiku besar di keluarga yang cukup disiplin akan hal-hal seperti ini. Suamiku mengambil alih tugas mengajari anak pipis dan pup. Kami mulai rajin menaruhnya di pispot saat pipis. Ternyata ini lebih praktis meski harus mencuci pispot berkali-kali. Lari mengantarnya ke toilet saat mulai mengejan atau menunjukkan tanda-tanda akan pup. Kebetulan, anak kami punya jadwal makan yang cukup teratur, sehingga jadwal pupnya sedikit banyak bisa diprediksi. Lambat tapi pasti, anaknya mulai terbiasa pup di toilet. Proses ini berlangsung tidak sebentar, mungkin ada hampir 3 bulan kami setengah mati mengajarinya pup di toilet. Bersyukurnya saat pengasuhan beralih ke pengasuhnya, ajaran kami tersebut bisa diteruskannya dengan baik.  

Meskipun bsia melalui ajaran pup dengan baik, kami masih belum memiliki cara yang lebih efisien dalam mengajarinya pipis di toilet. Terlebih, sejak pengasuhnya berhenti kerja, kami harus membawa lagi anak kami ke kantor setiap hari. Mengajari pipis di kantor sambil bekerja tentu bukan pilihan yang praktis. Bagaimana jika dia mengompol di kantor? Akhirnya PR mengajari dia pipis sempat berhenti beberapa bulan. Then, pandemic struck. Kami pun mendapatkan kesempatan Work From Home. Nah, itu adalah awal dari segalanya. Semacam silver lining buat para ibu-ibu yang galau toilet training anaknya. Kata suamiku, "Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Mumpung kita bisa kerja dari rumah." Aku pun jadi kembali optimis kami bisa bekerja sama lagi mengajari Radif pipis di toilet.

Awal-awal memulai kembali, tentu rasanya berat dan lelah sekali. Radif mulai memakai celana kain sebagai pengganti diapers. Berulang kali mengepel lantai, mencuci celana bekas pipis, mengeringkan kasur kalau dia kelepasan pipis di atasnya, on repeat. Kalau diingat tuh kok ya bangga juga bisa melewatinya. Berbulan-bulan lamanya akhirnya dia berprogres. Dari jadwal pipis setiap setengah jam sekali, bergeser menjadi satu jam sekali, lalu bergeser menjadi dua jam sekali, hingga dapat kami jadwalkan dengan baik pipisnya. Kami mulai bisa memprediksi kapan dia harus diajak ke toilet. Biasanya setengah jam setelah minum susu atau sejam setelah minum air putih biasa. Saat kami berdua harus masuk kantor secara bersamaan, kami masih berusaha menggunakan jadwal yang sama. Meskipun sesekali pernah juga kelepasan pipis di lantai kantor yang berujung mamanya harus mengepel di kantor. Bahkan, salah satu atasan kami pernah kena ompol Radif juga. Pahala ya pak buat bapak. Memang selain harus banyak sabar, kadang juga harus tebal muka. 

Ohya, walaupun dalam keseharian Radif sudah bisa memakai celana kain, namun untuk urusan tidur tetap mengandalkan pospak. Kami mulai berani melepas pospaknya karena kebetulan saat itu aku lupa membawa pospak ke kantor. Lalu terbitlah niat menguji coba bobok siang tanpa pospak. Dan, berhasil pada percobaan pertama yang membuat mamanya optimis. Tentu setelahnya banyak sekali drama mengompol saat tidur siang, entah di kantor atau di rumah. Hal ini membawa konsekuensi tersendiri bagi orang tuanya. Menambah daftar kerjaan dan cucian. Nggak masalah, semua memang ada tahapannya bukan yang simsalabim langsung bisa. Kalau kami memutuskan menyerah saat itu, entah kapan dia berhasil pipis sendiri.

Berbulan-bulan lamanya kami melatih dia pipis di toilet. Walau jadwalnya membaik hari demi hari, namun Radif masih terbilang sangat jarang meminta pipis sendiri. Tentunya 95% adalah ajakan dan inisiatif kedua orang tuanya. Berbeda halnya dengan pup yang sudah dengan lancar dia meminta sendiri saat kebelet. Apapun itu, kami bersyukur dia bisa lepas pospak saat tidur siang. Untuk perkara lepas pospak saat tidur malam itu beda lagi ceritanya. Kata ibu-ibu lain, itu adalah puncak kesabaran dan komitmen orang tuanya dalam melatih toilet training anaknya. Merelakan jadwal tidur kembali tersisih untuk mengantarnya pipis di kala semua orang sedang terlelap. Wow, aku sudah pesimis untuk satu hal ini. Beberapa kali aku berpikir mungkin saat Radif berusia 4 tahun baru akan lancar prosesnya. Ternyata tidak. Berat tapi tidak seberat itu asal komitmen.

Awal kami memutuskan dia lepas pospak saat tidur malam juga karena kebetulan pospaknya habis dan aku lupa bilang ke suami. Akhirnya dengan segala risiko, kami mengajarinya bobok tanpa pospak. Hari pertama berhasil, sebuah tanda baik demi membuat orang tuanya optimis. Kami secara bergantian mengantarnya pipis. Ayahnya mendapat jadwal pukul 12.00 malam sedangkan mamanya pada pukul 03.00 dini hari. Hari-hari yang cukup membuat jadwal bobok malam kami sedikit terganggu. Beberapa kali kelepasan mengompol, beberapa kali harus menjemur kasur dan mencuci bekas ompol tak lantas membuat kami berhenti. Wow mungkin ini karena sudah merasa terlalu jauh berjalan. Sayang bila harus memulainya kembali.

Progres pipis malam cukup baik, setidaknya sampai dengan hari ini. Kami sudah lupa kapan terakhir kali kami memberli pospak. Jadwal pipsi malamnya mulai terarah. Biasanya kami harus bangun dua kali dalam semalam. Namun beberapa waktu belakangan, dia sudah mau berdamai untuk tidak minum menjelang tidur. Kami membebaskannya minum sepuasnya sebelum dia masuk kamar. Ketika jam bobok tiba dan masuk kamar, tidak ada lagi jatah minum. Karena belajar dari pengalaman, kebiasaannya minum sebelum tidur sungguh menyulitkan kami dalam mengatur jadwal pipis malamnya.

Apa Radif sudah lulus toilet training? Ku rasa masih cukup dini untuk menyebutnya. Dia baru semingguan ini benar-benar hanya pipis sekali dalam semalam tanpa mengompol. Lagi-lagi, belum dengan inisiatifnya sendiri. Aku baru akan memberinya label lulus toilet training saat dia dengan sadar sudah mau berinisiatif pipis di toilet baik saat terjaga maupun tidur. Tapi, mama dan ayah sudah sangat bangga dengan kemajuan Radif. Terima kasih ya, nak. Mari kita lanjutkan kebiasaan baik ini hingga Radif benar-benar mandiri. Percayalah, setiap tahapan yang kita dan anak kita lalui untuk siap menjadi individu mandiri akan sangat berarti di hidupnya kelak.

0 komentar:

Post a Comment