Ada rindu pada masa kecil yang sering kali justru membuatku tak berhenti mengucap syukur sudah berada di titik tempatku sekarang berpijak. Rindu bukan berarti ingin kembali. Namun, rindu itu pula yang membuatku tak pernah lupa darimana asalku.
Aku tidak tumbuh dari keluarga kaya raya yang dapat memberikanku segalanya. Ayahku hanya seorang buruh biasa, seorang sopir yang mengabdi pada juragannya. Sedangkan ibuku, seorang ibu rumah tangga full time. Meskipun hanya anak seorang sopir, aku dan adik laki-lakiku hidup berkecukupan. Kami mempunyai semua hal yang kami butuhkan. Kami mendapatkan apa yang seorang anak perlukan dari kedua orang tuanya. Mainan, hiburan, kebutuhan sehari-hari, rumah yang nyaman, kendaraan untuk bepergian, sepeda baru, teve berwarna, dan sebagainya. Tak kekurangan suatu apapun. Pada era orde baru, kehidupan sosial terasa begitu mudah bagi keluarga kami. Sandang, papan, pangan tersedia dan harga sembako cenderung murah. Rakyat hidup sejahtera. Meski ternyata baru disadari bahwa semua itu hanyalah kamuflase dari sebuah rezim. Kami adalah bagian dari rakyat yang tidak tahu menahu bahwa selama puluhan tahun disuap dengan subsidi pemerintah yang berasal dari utang luar negeri. Utang yang justru sebagian besar jumlahnya masuk ke kantong pribadi kroni-kroni orde baru. Utang yang pada akhirnya gagal dibayar oleh pemerintah dan terus membebani pemerintahan selanjutnya.
Krisis moneter 1998 membangunkan kami dari mimpi indah selama bertahun-tahun. Banyak sekali sektor perekonomian yang jatuh dan gagal bangkit. Ayahku, seorang buruh kecil yang tak tahu menahu makanan politik dan hitungan ekonomi, turut pula menjadi korban yang merasakan kejamnya dampak krisis tersebut. Tahun-tahun awal kejatuhan krisis, kami perlahan-lahan beradaptasi dengan perubahan hidup di berbagai lini. Kami mulai belajar menyesuaikan penghasilan buruh yang tidak seberapa untuk mengimbangi kenaikan harga-harga barang yang melambung berkali lipat dari sebelumnya. Hiperinflasi itu perlahan mengubah kondisi kehidupan hampir seluruh rakyat, tak terkecuali keluarga kecil kami.
Di saat kehidupan mulai sulit, lahirlah adik-adik perempuanku. Mereka mungkin tidak sempat mencicip manisnya hidup dalam selimut orde baru. Mereka adalah sebagian dari rakyat kecil yang harus merasakan dampak jatuhnya orde baru. Ayahku masih bertahan sebagai buruh sopir dan akan selalu begitu meskipun harus berkali-kali berganti juragan karena lesunya perekonomian. Ibu masih setia menemani anak-anaknya di rumah sembari mengurus pekerjaan rumah tangga. Selintas kehidupan kami baik-baik saja, namun bila melihat lebih dekat dan lebih dalam, kami semua sebenarnya sama-sama sedang berjuang untuk bertahan. Sebagai anak tertua, mudah sekali bagiku melihat kesulitan orang tua. Meski usiaku masih sangat belia, aku tahu kondisi keuangan kedua orang tuaku sedang tidak sebaik dulu. Pantang rasanya meminta sesuatu di luar kemampuan orang tua.
Ibu mendidik kami untuk hidup prihatin. Sejak kecil, kami diajari untuk puasa sunnah, shalat sunnah maupun ibadah-ibadah sunnah lainnya. Ibu juga melatih kami untuk hidup sederhana dan hemat. Aku dan adik-adikku tak pernah gengsi untuk mendaftar berbagai beasiswa yang disediakan pemerintah untuk anak-anak tidak mampu. Beruntung, aku pernah dua kali mendapatkan beasiswa prestasi saat duduk di bangku sekolah dasar dan bangku sekolah menengah pertama lantaran partisipasiku dalam lomba siswa teladan. Saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku pernah ditegur beberapa temanku karena sepatuku sepertinya sudah tidak layak pakai lagi. Mereka merasa kasihan padaku. Meski ya, ternyata aku ini anaknya sangat cuek dan cenderung masa bodoh. Kabar ini pun sampai ke telinga ibu entah bagaimana caranya. Ibu merasa kasihan padaku dan membelikanku sepatu baru dengan cara hutang di toko sepatu kepunyaan salah seorang saudara. Kau tahu? Sesulit apapun hidup, ada hal-hal kecil yang patut untuk dirayakan oleh orang-orang kecil seperti kami.
Orang tuaku menjadi motivasi tersendiri bagiku dalam bersungguh-sungguh menjalani pendidikan. Meskipun hanya orang kecil, orang tuaku tipikal orang tua yang rela melakukan segalanya untuk anak terutama agar anak-anaknya dapat meraih cita-citanya. Bagi mereka, pendidikan adalah salah satu cara untuk mengubah putaran roda nasib. Ibuku tidak pernah mewajibkan anak-anaknya untuk membantu pekerjaan rumah. Bagi ibu, tugas seorang anak hanyalah beribadah dengan baik dan menjadi siswa yang baik di sekolah. Tugas utama pelajar hanyalah belajar dan berusaha mengukir prestasi terbaik di sekolah. Pandangan itulah yang menjadi kunci yang ku pegang sampai dengan sekarang. Bila semua pekerjaan rumah sudah dengan baik dilakukan oleh ibu, bagaimana mungkin aku tidak dapat melakukan tugasku dengan baik di sekolah. Meski demikian, bukan berarti aku absen sama sekali dalam pekerjaan rumah. Menurut ibu, aku termasuk anak yang bisa dibilang paham tentang pekerjaan rumah. Tentu saja, memasak dan mencuci baju tidak masuk dalam hitungan. Ibu melarang anak-anaknya untuk mencuci baju ketika masih duduk di bangku sekolah. Entah karena alasan apa.
Pada saat aku masih duduk di bangku kelas 6, ibu mulai ikut membantu ayah mencari nafkah. Ibu berjualan ayam potong keliling desa-desa mengendarai sepeda motor butut satu-satunya yang kami miliki. Setiap sore, aku diajak ibu mengambil ayam-ayam hidup yang dibeli ibu di kecamatan sebelah. Aku harus membiasakan diri untuk berdamai dengan ayam. Sering kali, celanaku harus rela terkena kotoran ayam-ayam hidup yang berontak dalam genggamanku saat berada di motor. Kondisi ini ku alami hampir satu tahun. Aku melihat sendiri bagaimana sulitnya mencari uang. Ibu harus bangun dini hari menyembelih dan membersihkan ayam-ayam itu seorang diri. Belum lagi membuat bakwan tahu untuk dititipkan pada penjual keliling yang ada di desa. Sering kali saat bangun shalat tahajud, aku dan adik-adikku membantu ibu sebisa kami. Ya, dulu bangun sangat pagi rasanya tidak berat karena kami melakukannya bersama-sama. Berhubung keuntungan dan kerja keras tidak sebanding, ibu berhenti berjualan dan mencari cara lain untuk bekerja.
Saat aku duduk di bangku kelas 8, ibu mulai berjualan pakaian seperti simbah. Di luar dugaan, ternyata bisnis kecil ibu ini berbuah hasil. Bisnis itulah yang nantinya dapat membiayai pendidikanku dan adik-adik. Ibu mulai semangat meniti pekerjaannya. Ayah tetap dengan pekerjaan sopirnya di luar kota sedangkan kami anak-anaknya masih berkutat dengan tugas-tugas sekolah. Ibuku, bukan tipikal orang tua yang overproud pada anak-anaknya. Beliau jarang sekali memuji atau membanggakan anak-anaknya kepada orang-orang. Satu hal yang selalu ingin ku lakukan adalah membuat ibu bangga setiap kali harus mengambilkan raporku di sekolah. Aku selalu ingin mempersembahkan nilai dan peringkat terbaikku di sekolah. Aku tidak peduli pada anggapan bahwa nilai dan peringkat di sekolah tidak serta merta mempengaruhi masa depanku. Yang aku tahu, orang tuaku bekerja membanting tulang setiap hari dari pagi hingga malam hanya untuk dapat melihat anak-anaknya menikmati pendidikan setinggi-tingginya. Apa lagi yang dapat ku lakukan untuk mereka selain selalu berusaha memberikan yang terbaik.
Aku tidak hidup seperti kebanyakan remaja seusiaku. Orang tuaku yang overprotektif selalu melarangku bermain bersama teman-teman saat aku masih SMA. Alhasil aku sedikit kurang pergaulan, but it's fine. I have a little circle in friendship that can encourage me to do good things in life. Pertemanan itu bukan masalah seberapa banyak temanmu nongkrong tapi tentang bagaimana kualitas pertemananmu. Ya, aku cenderung mempunyai sedikit teman namun awet hingga sekarang. Aku lebih memilih berteman dengan orang-orang yang mempunyai positivity, bukan yang hobi membuat gossip tentang orang lain. Bukankah teman kita adalah gambaran diri kita sendiri, bukan? Ibuku ini luar biasa. Kemanapun aku pergi, ibu selalu mengantarkan. Ibu lebih rela mengantarkanku kemana-mana daripada harus melihatku pergi bersama teman-teman. Ya, bahkan untuk urusan mendaftar kuliah pun, ibu juga yang mengantarkanku. Hal-hal semacam ini mungkin terasa kolot, namun aku bersyukur memiliki orang tua yang selalu perhatian padaku. Karena didikan merekalah, aku menjadi seperti sekarang. Aku tahu gaya parenting orang tuaku ini tidak kekinian atau bahkan banyak yang masih harus dikritisi, but who cares? Aku bangga pada mereka bagaimanapun cara mereka menyayangi dan menjagaku.
Dorongan untuk membahagiakan mereka secara financially mulai terukir sejak aku kecil. Aku ingin memperbaiki rumahku, aku ingin bisa membelikan ayahku mobil pribadi, aku ingin bisa membelikan ibu dan adik-adikku barang-barang bagus yang mereka inginkan, aku ingin membiayai sekolah adik-adikku, dan sebagainya dan sebagainya. Mungkin dulu semua itu hanyalah mimpi saja bagiku, tapi aku bersyukur perlahan-lahan semua itu dapat ku wujudkan. Aku tahu selama ini belum menjadi anak yang baik untuk kedua orang tuaku. Namun, orang tuaku tahu dengan pasti bahwa anaknya ini sangat menyayangi mereka.
Hidup penuh perjuangan sebenarnya lebih dirasakan oleh kedua orang tuaku daripada diriku sendiri. Aku mungkin harus berkali-kali melawan kegagalan, namun aku belum merasakan bagaimana rasanya berjuang untuk orang lain. Berjuang untuk masa depan anak-anakmu sendiri. Ya, life is a never ending struggle. When you have done one thing, there's always another thing to be fought for. Hidupku baru dimulai anyway. Semoga Tuhan selalu berbaik hati pada kami. Aku selalu menanamkan prinsip pada adik-adikku bahwa mereka dapat mengambil hal-hal baik dari orang tua dan kakak-kakaknya. Mereka harus bisa lebih baik dari kakak-kakaknya. Dan yang terpenting, jangan lupa beribadah karena semua yang kita raih tidak akan ada artinya tanpa ibadah. Kesulitan-kesulitan yang pernah kami alami di masa kecil membentuk kami menjadi pribadi yang dekat satu sama lain. Kami selalu support satu sama lain. Mungkin hubungan kami bukanlah sibling goals atau semacamnya. Yang ku tahu, kami punya satu tujuan yang sama yaitu, membahagiakan orang tua terutama di masa tua mereka.
Sebenarnya, aku bukan tipikal orang yang suka menceritakan hal-hal yang sifatnya sangat pribadi pada orang lain. Menurutku, menyimpan kesulitan untuk diri sendiri dan membuktikan pada dunia bahwa kita bisa mengatasinya tanpa mengeluhkannya adalah hal yang lebih penting. Berhubung hal-hal di masa kecilku ini sudah berlalu, tidak ada salahnya mengingatkan diri sendiri untuk selalu bersyukur. Ya, salah satunya dengan cara menuliskannya. I know, life can be harder somehow. But, the way we face it will lead us to the result afterwards. Sometimes, it's a sweet thing, sometimes it's not. Just brace yourself for everything.
Aku tidak tumbuh dari keluarga kaya raya yang dapat memberikanku segalanya. Ayahku hanya seorang buruh biasa, seorang sopir yang mengabdi pada juragannya. Sedangkan ibuku, seorang ibu rumah tangga full time. Meskipun hanya anak seorang sopir, aku dan adik laki-lakiku hidup berkecukupan. Kami mempunyai semua hal yang kami butuhkan. Kami mendapatkan apa yang seorang anak perlukan dari kedua orang tuanya. Mainan, hiburan, kebutuhan sehari-hari, rumah yang nyaman, kendaraan untuk bepergian, sepeda baru, teve berwarna, dan sebagainya. Tak kekurangan suatu apapun. Pada era orde baru, kehidupan sosial terasa begitu mudah bagi keluarga kami. Sandang, papan, pangan tersedia dan harga sembako cenderung murah. Rakyat hidup sejahtera. Meski ternyata baru disadari bahwa semua itu hanyalah kamuflase dari sebuah rezim. Kami adalah bagian dari rakyat yang tidak tahu menahu bahwa selama puluhan tahun disuap dengan subsidi pemerintah yang berasal dari utang luar negeri. Utang yang justru sebagian besar jumlahnya masuk ke kantong pribadi kroni-kroni orde baru. Utang yang pada akhirnya gagal dibayar oleh pemerintah dan terus membebani pemerintahan selanjutnya.
Krisis moneter 1998 membangunkan kami dari mimpi indah selama bertahun-tahun. Banyak sekali sektor perekonomian yang jatuh dan gagal bangkit. Ayahku, seorang buruh kecil yang tak tahu menahu makanan politik dan hitungan ekonomi, turut pula menjadi korban yang merasakan kejamnya dampak krisis tersebut. Tahun-tahun awal kejatuhan krisis, kami perlahan-lahan beradaptasi dengan perubahan hidup di berbagai lini. Kami mulai belajar menyesuaikan penghasilan buruh yang tidak seberapa untuk mengimbangi kenaikan harga-harga barang yang melambung berkali lipat dari sebelumnya. Hiperinflasi itu perlahan mengubah kondisi kehidupan hampir seluruh rakyat, tak terkecuali keluarga kecil kami.
Di saat kehidupan mulai sulit, lahirlah adik-adik perempuanku. Mereka mungkin tidak sempat mencicip manisnya hidup dalam selimut orde baru. Mereka adalah sebagian dari rakyat kecil yang harus merasakan dampak jatuhnya orde baru. Ayahku masih bertahan sebagai buruh sopir dan akan selalu begitu meskipun harus berkali-kali berganti juragan karena lesunya perekonomian. Ibu masih setia menemani anak-anaknya di rumah sembari mengurus pekerjaan rumah tangga. Selintas kehidupan kami baik-baik saja, namun bila melihat lebih dekat dan lebih dalam, kami semua sebenarnya sama-sama sedang berjuang untuk bertahan. Sebagai anak tertua, mudah sekali bagiku melihat kesulitan orang tua. Meski usiaku masih sangat belia, aku tahu kondisi keuangan kedua orang tuaku sedang tidak sebaik dulu. Pantang rasanya meminta sesuatu di luar kemampuan orang tua.
Ibu mendidik kami untuk hidup prihatin. Sejak kecil, kami diajari untuk puasa sunnah, shalat sunnah maupun ibadah-ibadah sunnah lainnya. Ibu juga melatih kami untuk hidup sederhana dan hemat. Aku dan adik-adikku tak pernah gengsi untuk mendaftar berbagai beasiswa yang disediakan pemerintah untuk anak-anak tidak mampu. Beruntung, aku pernah dua kali mendapatkan beasiswa prestasi saat duduk di bangku sekolah dasar dan bangku sekolah menengah pertama lantaran partisipasiku dalam lomba siswa teladan. Saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku pernah ditegur beberapa temanku karena sepatuku sepertinya sudah tidak layak pakai lagi. Mereka merasa kasihan padaku. Meski ya, ternyata aku ini anaknya sangat cuek dan cenderung masa bodoh. Kabar ini pun sampai ke telinga ibu entah bagaimana caranya. Ibu merasa kasihan padaku dan membelikanku sepatu baru dengan cara hutang di toko sepatu kepunyaan salah seorang saudara. Kau tahu? Sesulit apapun hidup, ada hal-hal kecil yang patut untuk dirayakan oleh orang-orang kecil seperti kami.
Orang tuaku menjadi motivasi tersendiri bagiku dalam bersungguh-sungguh menjalani pendidikan. Meskipun hanya orang kecil, orang tuaku tipikal orang tua yang rela melakukan segalanya untuk anak terutama agar anak-anaknya dapat meraih cita-citanya. Bagi mereka, pendidikan adalah salah satu cara untuk mengubah putaran roda nasib. Ibuku tidak pernah mewajibkan anak-anaknya untuk membantu pekerjaan rumah. Bagi ibu, tugas seorang anak hanyalah beribadah dengan baik dan menjadi siswa yang baik di sekolah. Tugas utama pelajar hanyalah belajar dan berusaha mengukir prestasi terbaik di sekolah. Pandangan itulah yang menjadi kunci yang ku pegang sampai dengan sekarang. Bila semua pekerjaan rumah sudah dengan baik dilakukan oleh ibu, bagaimana mungkin aku tidak dapat melakukan tugasku dengan baik di sekolah. Meski demikian, bukan berarti aku absen sama sekali dalam pekerjaan rumah. Menurut ibu, aku termasuk anak yang bisa dibilang paham tentang pekerjaan rumah. Tentu saja, memasak dan mencuci baju tidak masuk dalam hitungan. Ibu melarang anak-anaknya untuk mencuci baju ketika masih duduk di bangku sekolah. Entah karena alasan apa.
Pada saat aku masih duduk di bangku kelas 6, ibu mulai ikut membantu ayah mencari nafkah. Ibu berjualan ayam potong keliling desa-desa mengendarai sepeda motor butut satu-satunya yang kami miliki. Setiap sore, aku diajak ibu mengambil ayam-ayam hidup yang dibeli ibu di kecamatan sebelah. Aku harus membiasakan diri untuk berdamai dengan ayam. Sering kali, celanaku harus rela terkena kotoran ayam-ayam hidup yang berontak dalam genggamanku saat berada di motor. Kondisi ini ku alami hampir satu tahun. Aku melihat sendiri bagaimana sulitnya mencari uang. Ibu harus bangun dini hari menyembelih dan membersihkan ayam-ayam itu seorang diri. Belum lagi membuat bakwan tahu untuk dititipkan pada penjual keliling yang ada di desa. Sering kali saat bangun shalat tahajud, aku dan adik-adikku membantu ibu sebisa kami. Ya, dulu bangun sangat pagi rasanya tidak berat karena kami melakukannya bersama-sama. Berhubung keuntungan dan kerja keras tidak sebanding, ibu berhenti berjualan dan mencari cara lain untuk bekerja.
Saat aku duduk di bangku kelas 8, ibu mulai berjualan pakaian seperti simbah. Di luar dugaan, ternyata bisnis kecil ibu ini berbuah hasil. Bisnis itulah yang nantinya dapat membiayai pendidikanku dan adik-adik. Ibu mulai semangat meniti pekerjaannya. Ayah tetap dengan pekerjaan sopirnya di luar kota sedangkan kami anak-anaknya masih berkutat dengan tugas-tugas sekolah. Ibuku, bukan tipikal orang tua yang overproud pada anak-anaknya. Beliau jarang sekali memuji atau membanggakan anak-anaknya kepada orang-orang. Satu hal yang selalu ingin ku lakukan adalah membuat ibu bangga setiap kali harus mengambilkan raporku di sekolah. Aku selalu ingin mempersembahkan nilai dan peringkat terbaikku di sekolah. Aku tidak peduli pada anggapan bahwa nilai dan peringkat di sekolah tidak serta merta mempengaruhi masa depanku. Yang aku tahu, orang tuaku bekerja membanting tulang setiap hari dari pagi hingga malam hanya untuk dapat melihat anak-anaknya menikmati pendidikan setinggi-tingginya. Apa lagi yang dapat ku lakukan untuk mereka selain selalu berusaha memberikan yang terbaik.
Aku tidak hidup seperti kebanyakan remaja seusiaku. Orang tuaku yang overprotektif selalu melarangku bermain bersama teman-teman saat aku masih SMA. Alhasil aku sedikit kurang pergaulan, but it's fine. I have a little circle in friendship that can encourage me to do good things in life. Pertemanan itu bukan masalah seberapa banyak temanmu nongkrong tapi tentang bagaimana kualitas pertemananmu. Ya, aku cenderung mempunyai sedikit teman namun awet hingga sekarang. Aku lebih memilih berteman dengan orang-orang yang mempunyai positivity, bukan yang hobi membuat gossip tentang orang lain. Bukankah teman kita adalah gambaran diri kita sendiri, bukan? Ibuku ini luar biasa. Kemanapun aku pergi, ibu selalu mengantarkan. Ibu lebih rela mengantarkanku kemana-mana daripada harus melihatku pergi bersama teman-teman. Ya, bahkan untuk urusan mendaftar kuliah pun, ibu juga yang mengantarkanku. Hal-hal semacam ini mungkin terasa kolot, namun aku bersyukur memiliki orang tua yang selalu perhatian padaku. Karena didikan merekalah, aku menjadi seperti sekarang. Aku tahu gaya parenting orang tuaku ini tidak kekinian atau bahkan banyak yang masih harus dikritisi, but who cares? Aku bangga pada mereka bagaimanapun cara mereka menyayangi dan menjagaku.
Dorongan untuk membahagiakan mereka secara financially mulai terukir sejak aku kecil. Aku ingin memperbaiki rumahku, aku ingin bisa membelikan ayahku mobil pribadi, aku ingin bisa membelikan ibu dan adik-adikku barang-barang bagus yang mereka inginkan, aku ingin membiayai sekolah adik-adikku, dan sebagainya dan sebagainya. Mungkin dulu semua itu hanyalah mimpi saja bagiku, tapi aku bersyukur perlahan-lahan semua itu dapat ku wujudkan. Aku tahu selama ini belum menjadi anak yang baik untuk kedua orang tuaku. Namun, orang tuaku tahu dengan pasti bahwa anaknya ini sangat menyayangi mereka.
Hidup penuh perjuangan sebenarnya lebih dirasakan oleh kedua orang tuaku daripada diriku sendiri. Aku mungkin harus berkali-kali melawan kegagalan, namun aku belum merasakan bagaimana rasanya berjuang untuk orang lain. Berjuang untuk masa depan anak-anakmu sendiri. Ya, life is a never ending struggle. When you have done one thing, there's always another thing to be fought for. Hidupku baru dimulai anyway. Semoga Tuhan selalu berbaik hati pada kami. Aku selalu menanamkan prinsip pada adik-adikku bahwa mereka dapat mengambil hal-hal baik dari orang tua dan kakak-kakaknya. Mereka harus bisa lebih baik dari kakak-kakaknya. Dan yang terpenting, jangan lupa beribadah karena semua yang kita raih tidak akan ada artinya tanpa ibadah. Kesulitan-kesulitan yang pernah kami alami di masa kecil membentuk kami menjadi pribadi yang dekat satu sama lain. Kami selalu support satu sama lain. Mungkin hubungan kami bukanlah sibling goals atau semacamnya. Yang ku tahu, kami punya satu tujuan yang sama yaitu, membahagiakan orang tua terutama di masa tua mereka.
Sebenarnya, aku bukan tipikal orang yang suka menceritakan hal-hal yang sifatnya sangat pribadi pada orang lain. Menurutku, menyimpan kesulitan untuk diri sendiri dan membuktikan pada dunia bahwa kita bisa mengatasinya tanpa mengeluhkannya adalah hal yang lebih penting. Berhubung hal-hal di masa kecilku ini sudah berlalu, tidak ada salahnya mengingatkan diri sendiri untuk selalu bersyukur. Ya, salah satunya dengan cara menuliskannya. I know, life can be harder somehow. But, the way we face it will lead us to the result afterwards. Sometimes, it's a sweet thing, sometimes it's not. Just brace yourself for everything.
0 komentar:
Post a Comment