, ,

Cerita Persalinan Pertamaku: Labor Induction

Tadi sore, aku mendapatkan kabar duka dari teman sekelas suami di SMA yang meninggal dunia setelah melahirkan dengan proses CSection. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raj'un. Al fatihah untuk beliau, semoga khusnul khotimah. Sedih, patah hati rasanya meski aku tidak mengenal beliau. Ada sebuah rasa yang sulit dijelaskan ketika sudah menjadi seorang ibu, semua anak seakan terasa seperti anakmu sendiri. Berat membayangkan bagaimana si bayi mungil yang masih merah itu harus kehilangan seorang ibu. 

Okay hi, I'm back! Aku akhirnya tergerak untuk menuliskan pengalaman persalinanku beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya, aku sudah pernah membuat instastory tentang cerita persalinanku ini sih, bisalah dikepoin di highlight instagramku yang judulnya Birthstory. Kali ini aku pengen menuliskannya secara lengkap dan rinci di sini. Bingung nih mau mulai dari mana. So, here we go.

Jadi, Hari Perkiraan Lahir (HPL) bayiku adalah tanggal 28 Januari 2018 menurut HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir). Nah, ini penting banget diketahui sama ibu hamil. Selain untuk mengetahui usia kehamilan, juga untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk mulai mengambil cuti persalinan. Aku sudah mulai cuti sejak tanggal 22 Desember 2017 karena waktu itu aku berpatokan pada HPL versi USG. Optimis nggak akan jauh-jauh dari tanggal HPL, aku minta suami untuk pulang tanggal 25 Januari 2018. Alhamdulillah, di tanggal-tanggal itu bertepatan beliau mendapat tugas negara ke Denpasar sehingga bisa sekalian pulang kampung dan mengambil cuti panjang. Semacam kayak semesta mendukung gitulah. Entah aku yang berhasil sounding ke dedek bayi atau memang sudah rejeki kami, kelahiran pertama kali ini sudah dapat dipastikan bakal didampingi suami. 

Tanggal 26 Januari 2018 malam, aku ada jadwal kontrol rutin ke obsgyn. Ohya, selama di Klaten ini, aku langganan periksanya ke Dokter Zamzuri Hudaya, SpOG yang praktik di RSI Klaten. Beliau juga membuka praktik di Apotek Sidowayah in case you want to know. Kebetulan aku langsung cocok sih dengan gaya konsultasi beliau. Malem itu, aku akhirnya bisa kontrol rutin di Klaten dengan didampingi oleh suami. Nah, nggak kayak kontrol-kontrol rutin sebelumnya yang hampir nggak pernah ada masalah selain BB Janin yang kurang, malem itu banyak hal yang bikin aku khawatir. Indeks air ketubanku yang minggu lalu masih di level sangat aman tiba-tiba terjun bebas mendekati angka minimal. Aku bahkan nggak sadar bahwa ketubanku rembes. Berhubung usia kehamilanku sudah terbilang tua (saat kontrol sudah hampir uk 40minggu), plasentaku juga sudah mulai mengalami pengapuran grade 2. Dokter bilang bahwa kondisi ini tidak bisa dikatakan bagus. Bahkan beliau bersikeras agar bayiku segera dilahirkan saja demi keselamatan ibu dan si buah hati. Bila ditunda, beliau tidak berani mengambil risiko yang diakibatkan oleh kondisi air ketubanku ini. Beruntung, aku masih mempunyai kesempatan untuk melahirkan secara vaginal birth. Selain karena indeks air ketubanku masih memungkinkan, ukuran BB Janinku tergolong kecil namun normal. Tersebutlah aku diberi surat pengantar ke UGD untuk mendapatkan tindakan induksi besuk paginya. Syok banget rasanya karena nggak pernah kebayang bakalan mengalami proses induksi yang kata orang-orang rasanya berkali-kali lipat sakitnya.

Sampai rumah, aku dan suami galau banget. Ibu mertua menyarankan kami untuk cari second opinion terlebih dahulu. Akhirnya, pagi harinya tanggal 27 Januari 2018 pukul 06.30 WIB, kami coba periksa ke dokter lain. Namun ternyata, hasilnya tidak lebih bagus dari dokterku yang sebelumnya. Kami pun akhirnya mantap ke rumah sakit siang itu juga. Setiba di sana, aku langsung diberi makan dan dicek pembukaan serta DJJ. Aku seneng banget karena di sini aku dibebaskan menunggu hingga siap diinduksi. Tidak ada intervensi medis yang berarti.

Pukul 13.52 WIB, aku mulai mendapatkan tindakan induksi yang pertama dan akan dievaluasi 6 jam kemudian. Nah, selama masa nunggu itu aku nggak diem saja di tempat. Aku jalan-jalan keliling rumah sakit, naik turun tangga, main gymball, mengulang gerakan senam hamil, pokoknya gerakan apa saja yang memacu kontraksi alami. Setelah sholat ashar, aku mulai merasakan perutku mulai mengeras dan seperti makin turun. Saat sholat magrib pun aku sudah mulai kepayahan untuk rukuk dan sujud. Rasanya seakan aku optimis  sok tahu mungkin ini tanda sudah mulai pembukaan. Meskipun aku sendiri masih nggak tahu bagaimana rasanya gelombang kontraksi itu.

Pukul 20.00 WIB, dievaluasi dan ternyata belum pembukaan sama sekali. Duh, kok sedih banget ya rasanya. Pukul 21.00 WIB, aku setuju mendapatkan tindakan induksi untuk kedua kalinya setelah memastikan bahwa DJJ (Denyut Jantung Janin) masih aman. Setelah itu, ibuku mulai pamit ke mushola karena yang diizinkan menunggu hanya satu orang. Berhubung kami semua sudah sangat lelah, aku menyuruh suami untuk istirahat dulu. Aku berpikir mungkin aku lebih membutuhkan beliau saat nanti mulai kontraksi. Di saat ini, penting sekali yang namanya kerja sama tim. Aturan pertama mendampingi persalinan adalah jangan ikutan panik. Sungguh kami ini hanya butuh orang yang bisa menyemangati kami, mengurangi rasa panik, dan tentu saja selalu sigap dan siap dengan segala kondisi yang akan terjadi. Istilahnya siaga gitulah.

Pukul 23.00 WIB, aku ke kamar mandi dan ternyata sudah mulai keluar lendir darah. Rasanya gelombang kontraksi mulai muncul namun masih bisa ku atasi dengan mengatur nafas. Setengah jam kemudian udah nggak karuan rasanya, suami pun terbangun dan mulai mendampingiku menahan sakitnya kontraksi. Baru kali itu aku tahu rasanya orang melahirkan, sakitnya masya Alloh. Semua ilmu-ilmu saat senam hamil langsung luntur entah kemana. Aku nggak bisa mengontrol nafasku. Beberapa kali bidan yang jaga menegurku agar menghemat tenaga dan mengatur nafas supaya tidak kesakitan dan kelelahan saat mengejan nanti. Namun tetap saja aku takluk dengan rasa sakitnya kontraksi. Mulutku nggak bisa berhenti meringis keras.

Pukul 00.30 WIB tanggal 28 Januari 2018, aku mulai nggak tahan dan minta suami untuk memanggil bidan. Bidan mengecek ternyata baru bukaan 2. Patah hatiku setelah hebatnya rasa sakit itu ternyata baru bukaan 2. Rasanya langsung pesimis bakal bisa bertahan. Sangking kesakitannya, hampir setiap 5 menit sekali aku nanya ke suami jam berapa. Rasanya kok kayak lama banget. Sejam kemudian aku udah kayak nggak sanggup lagi dan ngaco pengen minta pain killer. Di tengah kemelut rasa sakitku, aku maksa suami buat googling pain killer induksi. Sungguh ngarang sekali karena jelas sekali tidak ada. Aku pun minta turun ranjang dan duduk di gymball. Rasanya sedikit membaik meski tentu saja makin lama gelombang kontraksi makin keras menyerang. Aku sudah nggak peduli lagi bagaimana kondisiku saat itu. Nguyek-nguyek suami sambil mainan gymball dengan nafas tersengal-sengal dan sesekali teriak kesakitan. Kalimat istighfar tidak berhenti melantun dari bibirku. Seakan-akan aku ingat semua dosa-dosaku selama ini.

Karena aku begitu berisik, bidanku datang menenangkan. Sungguh, kalimat bidan memberiku sedikit kekuatan meski tentu saja setelah bidannya pergi aku kembali dengan teriakan dan ringisanku yang tadi. Selama berjuang melawan kontraksi itu, aku tak henti minum air putih, teh manis, pocari sweat hingga makan pisang agar tenagaku tidak habis. Ini penting sekali ya ibu-ibu karena percuma aja menahan sakit bila akhirnya tidak kuat mengejan. Minta tolong suami untuk selalu bersiap memberi kita amunisi setiap kali merasa lapar dan haus.

Pukul 02.20 WIB, aku mulai merasakan ada yang mau keluar di bawah tubuhku. Aku selalu mengingat ajaran senam hamil dari pelatihku bahwa aku tidak boleh mengikuti ajakan tubuh untuk mengejan sebelum bukaan lengkap. Sayangnya, aku kelepasan. Saat aku mulai ribut minta dicek, ternyata sudah mulai bukaan 7. Disitulah aku sempat kelepasan mengejan sedikit. Dalam hitungan menit, aku mulai nggak sanggup menahan ajakan untuk mengejan tersebut. Aku pun teriak ke suami bahwa ada yang mau keluar tak tertahankan dari bawah sana. Suami mulai melihat kepala bayi dan langsung memanggil bidan. Seketika saat itu ketuban pecah, aku bisa merasakan hangatnya air ketuban membasahi bagian bawah tubuhku. Bidan pun datang menyiapkan alat, siap-siap menolong persalinan. Dengan dibantu suami menopang tubuhku, aku dipandu untuk mengejan. 

Ternyata, meskipun sudah diberi tahu bahwa proses mengejannya tidak jauh berbeda dengan proses kita mengejan saat BAB, aku tetap saja sempat salah melakukannya. Akhirnya setelah 3 kali mencoba untuk mengejan, tepat pukul 02.40 WIB, lahirlah putra kami dengan sehat dan selamat. Alhamdulillah, kalau kamu pernah mendengar kata orang bahwa setelah anak lahir, maka kita akan lupa bagaimana rasa sakitnya melahirkan. Begitulah rasanya kira-kira. Akhirnya aku tahu bahwa kalimat itu bukan bualan semata. Sungguh, aku bahkan sudah lupa rasanya sakit yang baru saja ku alami setelah melihat tubuh mungil itu diletakan di dadaku saat dilakukan proses IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Mau nangis haru sampai nggak bisa sangking bahagianya. Terima kasih, nak sudah mau berjuang bersama mama. Ohya, ternyata proses mengeluarkan plasenta serta jahitan jalan lahir itu nggak kalah sakit ya guys meskipun sudah dibius lokal.

For the first time in my life, I feel like a hero. I already knew, at this moment, I was not only giving birth but also being born again as a mom. My life will never be the same anymore. Thank you God for the best thing you could give to me as a human. Terima kasih banyak suamiku atas kesabaranmu selama mendampingiku berjuang hidup dan mati. I didn't know what's gonna happen without you. Terima kasih ibuku yang tak pernah berhenti melantunkan doa untuk anakmu yang akan melahirkan cucu untukmu. Kalian luar biasa. 

0 komentar:

Post a Comment