source: unsplash.com |
Sebenarnya, aku sudah suka
menulis sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, literally tulisan tangan. Kenapa tulisan tangan? Karena masa
kecilku belum mengenal komputer atau laptop. Dulu, aku dan teman-teman masa
kecilku senang mengarang cerpen bebas (namanya sih cerpen namun pada praktiknya
hanya terdiri dari beberapa paragraf saja, tidak sesuai dengan aturan cerpen
yang sebenarnya), membuat majalah dan buku cerita bergambar handmade ala-ala, memasang mading
sederhana di samping rumah, hingga menulis diary.
Masa kecilku belum mengenal gadget
seperti kebanyakan anak kecil jaman sekarang. Itulah sebabnya, apapun dapat
kami jadikan mainan. Saking ‘kreatifnya’,
apapun dapat kami bikin jadi aktivitas bermain. Anak-anak desa di generasi kami
yang terbiasa dengan keterbatasan fasilitas bermain, justru tak pernah habis
kreasi menciptakan mainan-mainannya sendiri. Sayangnya sih hasil cipta karya
kami tersebut sudah hilang entah kemana karena tidak disimpan dengan baik.
Terlebih, beberapa teman masa kecilku sempat pindah rumah. Selain itu, rumahku sendiri
juga sempat mengalami beberapa renovasi sana-sini, sehingga banyak
barang-barang yang dianggap tidak berguna, dibuang atau dibakar.
Wali kelasku saat duduk di bangku
sekolah dasar juga sempat mewajibkan kami membuat buku harian yang harus
diserahkan dan dinilai setiap hari. Buku harian kami ini isinya bukan curhatan
melainkan rangkuman materi atau kumpulan soal-soal lengkap dengan jawabannya.
Wali kelas membebaskan kami memilih subjek pelajaran yang akan kami gunakan
sebagai bahan mengisi buku harian dengan batasan bahwa satu bahasan yang sama hanya
boleh dipakai untuk lima kali penulisan. Tujuan menulis buku harian ini adalah
untuk memaksa para siswa agar mau tak mau belajar setiap hari. Menulis merupakan salah satu cara
yang efektif untuk mengingat pelajaran. Dengan menulis tentang materi-materi
pelajaran ini, para siswa mau tak mau secara otomatis harus membaca materi
pelajaran yang akan ditulisnya. Dengan begitu, minat bacanya juga akan meningkat. Kebiasaan ini kami lakukan selama 3 tahun
karena kebetulan wali kelasku tersebut ingin tetap mengajar di kelas kami
selama itu pula.
Kebiasaan menulis tangan tidak
begitu saja ku tinggalkan saat aku sudah lulus sekolah dasar. Aku masih aktif
menulis diary ala-ala khas diary remaja sampai aku lulus SMP.
Isinya pun tak jauh dari aktivitasku sehari-hari. Anyway, kalau mau mencari curhatan percintaan, tidak akan kalian
temui di dalam diary ku tersebut. Diary ku ini murni hanya sekadar tulisan
tentang aktivitas rutinku maupun tumpahan perasaan yang mungkin sempat ku
rasakan di hari-hari tersebut. Selain itu, banyak pula terselip cerita tentang
bagaimana jalinan persahabatanku kala itu. Anaknya emang rada-rada setia kawan
gitulah. Selepas SMP, aku sudah tidak lagi menulis diary. Entah karena aku mulai malas, atau mungkin karena aktivitas
di SMA sudah sangat banyak menyita waktuku. Apalagi aku anaknya lumayan aktif
berorganisasi dan banyak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.
Ohya, pada saat kelulusan SMP,
seorang guru Mata Pelajaran Matematika memberikan hadiah buku saku kepada
seluruh siwa-siswi yang berhasil mendapatkan nilai Ujian Nasional sempurna khusus
Mata Pelajaran Matematika. Kebetulan aku salah satunya. Buku saku yang ku dapat
ini berisi tentang cara membuat dan mengelola blog pribadi. Sebagai anak
sekolah yang belum banyak mengenal internet kala itu, istilah blog masih sangat
asing di telingaku. Meski demikian, buku saku tersebut entah bagaimana
ceritanya tetap saja lahap ku baca habis. Tidak berhenti di situ, rasa
penasaranku tentang blog pun berlanjut. Aku mulai mencari tahu selengkapnya
mengenai blog saat aku masuk SMA. Kebetulan sekali mata pelajaran TIK
(Teknologi Informasi Komputer) menyediakan labolatorium yang berisi komputer dengan
jaringan internet. Guru TIK pun mewajibkan kami untuk membuat blog pribadi.
Alhasil tepat di tahun 2008, aku resmi membuat blog pribadi melalui www.blogger.com sesuai dengan petunjuk pada
buku saku yang pernah ku baca.
Berhubung blog berbeda dengan media sosial atau tidak semenarik media sosial seperti friendster atau sebangsanya, tidak banyak teman-teman yang tertarik untuk menghidupkan blognya. Rata-rata blog mereka didiamkan begitu saja tanpa aktif diisi. Aku pun tidak punya teman untuk menulis blog. Meski demikian, aku lumayan aktif mengisi blogku dengan aktivitas sehari-hari atau informasi-informasi terkini dalam bahasaku sendiri. Rupanya, blog ini menjadi diary online buatku setelah kebiasaan menulis tangan sudah lama ku tinggalkan.
Berhubung blog berbeda dengan media sosial atau tidak semenarik media sosial seperti friendster atau sebangsanya, tidak banyak teman-teman yang tertarik untuk menghidupkan blognya. Rata-rata blog mereka didiamkan begitu saja tanpa aktif diisi. Aku pun tidak punya teman untuk menulis blog. Meski demikian, aku lumayan aktif mengisi blogku dengan aktivitas sehari-hari atau informasi-informasi terkini dalam bahasaku sendiri. Rupanya, blog ini menjadi diary online buatku setelah kebiasaan menulis tangan sudah lama ku tinggalkan.
Bahasa tulisan yang ku pakai
dalam blog pribadiku dulu sangat kacau bahkan cenderung alay (dulu sih itu
termasuk bahasa keren kayaknya ya). Bentuk tulisan maupun tata bahasanya benar-benar
bisa membuat pusing penulisnya sendiri ketika sekarang membacanya ulang. Like, what the hell I just wrote? Sebenarnya,
blog lamaku itu masih aktif sampai dengan sekarang. Aku secara ajaib masih
mengingat alamat email dan password blogku
kala itu. Tentu saja namanya pun tetap alay. Aku sudah mencoba melakukan perombakan
tulisan maupun desain blognya sebisaku. Namun berhubung terlalu banyak tulisan
dan remeh-temeh lainnya, aku pun menyerah. Banyak tulisan-tulisan lamaku itu
akhirnya ikhlas ku hapus secara massal. Aku juga mengubah privasi blogku,
sehingga hanya pemiliknya saja yang dapat membacanya. Di tahun 2012, tepatnya
saat aku sudah kuliah semester 3, aku akhirnya membuat blog baru. Tujuannya
kali ini benar-benar ingin belajar menulis. Aku pernah membaca kutipan buku
Pramoedya Ananta Toer yang berbunyi “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi
selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Berbekal dari kutipan tersebutlah, aku
merasa harus belajar untuk menuangkan kata-kata dalam bentuk tulisan. Belajar menulis dengan baik dengan tata bahasa yang baik juga merupakan bentuk dari mencintai bahasa itu sendiri, khususnya bahasa Indonesia.
Aku suka sekali membaca
tulisan-tulisan blogger lain yang sudah terbilang pro dalam dunia tulis menulis. Banyak yang akhirnya menjadi influencer. Aku selalu salut dengan cara mereka
menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan. Pemilihan diksinya sangat jeli dan
rinci hingga menghasilkan tulisan yang kritis dan berbobot. Susunan bahasanya rapi,
kosa katanya luas. Bahkan banyak juga yang menggunakan bahasa asing sebagai
bahasa penulisan. Menulis dalam bahasa yang bukan bahasa ibu sendiri (mothertongue) namun tetap menghasilkan
tulisan yang berbobot itu level sulitnya dua kali menurutku. Ajaibnya, banyak
yang menjadi blogger pro tersebut
berusia tak jauh berbeda dengan usiaku, bahkan beberapa masih lebih muda
dariku. Terkadang itu juga yang membuatku minder untuk membagi blogku kepada
orang lain. Like, emangnya ada yang mau
baca, Fah? Kata suamiku, kalau tetap tidak percaya diri membagi tulisan blog
kepada orang lain, kapan majunya? Bagi yang suka membaca, menulis seharusnya
menjadi kegiatan sepaket. Agar apa yang sudah kita baca dapat diikat oleh waktu
dalam bentuk tulisan.
Beberapa waktu yang lalu, aku
sempat bergabung dengan salah satu komunitas blogger Indonesia, yaitu Kumpulan
Emak-emak Blogger (KEB), logonya dapat kalian lihat sendiri di blogku. Kalian dapat ikut bergabung juga jika bersedia. Komunitas ini ku dapat dari facebook beberapa
teman kuliahku yang rupanya sudah terlebih dahulu aktif menjadi member. Aku pun memberanikan diri untuk
bergabung meski awal buka grup tersebut, aku langsung minder dengan kualitas
tulisan member lain. Namun, sudah mau
bergabung dengan komunitas merupakan kemajuan tersendiri untukku. Setidaknya
aku mendapat lebih banyak inspirasi dan guru untuk menulis. Terlebih lagi,
variasi tema blog para member grup
sangat beragam. Lagipula yang terpenting dari semua itu adalah tidak ada kata
terlambat untuk belajar menulis. Tidak pernah ada waktu yang paling tepat untuk
mulai belajar menulis. Selama masih ada waktu dan kesempatan, lakukan saja.
Bukankah menulis ya tinggal menulis saja tanpa henti asal menjadi tulisan? Setiap
ada ide, tulis saja dulu. Perkara isinya bagus atau tidak itu urusan belakangan.
Toh, selagi apa yang kita tulis tersebut bukanlah hal yang buruk.
PS: Budaya membaca dan menulis definitely bakal aku terapkan pada
anak-anakku kelak. It’s a very good habit
af.
Wkwkwkwkkkk >_<
ReplyDeleteBlogku jaman SMA bener-bener alay juga, Fah. Dan gawatnya, aku lupa passwordnya. Jadi, masih bertebaran aja itu blog.
Akhirnya bikin blog baru tahun 2010, itu pun konten awalnya masih kacau. Wkwkwk :p
Tapi, namanya aja hidup, ya emang harus belajar. Setuju sama kamu, Fah, tidak ada kata terlambat untuk belajar menulis.
^_^
Haha, iyaa ell. Masa muda kita kan ada fase alay nya ya pastilah meninggalkan jejak digital. Sejak bekerja tuh, punya hobi itu adalah salah satu cara menjaga kewarasan. Jadi kalo udah punya satu hobi sebisa mungkin dimaintain aja. Walopun masih senin kemis juga minat nulisnya wkwk. Kamu hebat lho el, masih kuliah S2 masih sempet nyambi rajin posting sama make up-in org antarkota. Padahal hal paling susah pas nulis tuh ya nyempetin waktunya hehe
Delete