Menyapih Radif, Weaning With Love

Radif disapih saat umurnya belum genap 26 bulan. Cukup dini menurutku. Sejujurnya, aku tidak terburu-buru ingin segera menyapihnya. Drama menyusui yang cukup menguras mental dan tenagaku tak lantas membuatku lekas ingin berhenti. Ada rasa sayang untuk mengakhiri segala bonding saat menyusui. Aku merasa bahwa memang proses menyusui adalah kedekatan dan kelekatan dengan anak yang paling tidak bisa digantikan. Menyapih berarti memisahkannya dengan sesuatu yang membuatnya begitu bergantung selama ini. That's why it feels so hard to end.

Sebenarnya, proses sounding dalam menyapih ini sudah ku lakukan sejak umurnya setahun. Kata beberapa pakar, hal utama yang sebaiknya dilakukan saat memulai proses penyapihan adalah sounding sedini mungkin. Kapan waktu yang tepat untuk sounding ini sangat bergantung dari kapan kamu ingin menyapih anakmu. Saat itu, jujur aku belum punya gambaran kapan aku siap menyapihnya. Sempat terpikir akan menyapihnya di usia 28 bulan. Tersebutlah aku memutuskan untuk melakukan sounding di usia setahun. Kalimat yang biasa ku sampaikan padanya adalah, "Radif, nanti kalau Radif sudah 2 tahun, Radif sudah tidak nenen lagi ya. Soalnya Radif sudah besar. Nenen cuma untuk bayi." Ditambah kata-kata, "Mama tetap sayang sama Radif walaupun udah nggak nenen lagi." Lalu ku peluk. Biasanya untuk memberi gambaran umur 2 tahun, aku menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil tepuk tangan. Responnya ya selayaknya bayi setahun, entah mengerti atau tidak mengerti tetap ku lakukan hampir setiap hari. Memang tidak serta merta rutin ku lakukan, tapi cukup sering menurutku. Tips pertama adalah, jangan pernah membohongi anak just to make him stop. Instead of, membohonginya kalau mamanya sakit atau alasan lain yang dibuat-buat, sebaiknya jujur saja pada anak tujuan dia disapih apa. Toh, pada akhirnya dia juga harus berhenti, jadi untuk apa membohonginya. Tidak perlu juga menggunakan cara-cara lama dengan mengoles benda-benda di area payudara agar rasanya berubah menjadi tidak enak. Menurutku justru itu akan mempersulit proses menyapih, terlebih jika bahan-bahan yang dioles adalah bahan-bahan berbahaya seperti balsem atau yang lain-lain. Menyapih adalah bagian dari proses dia bertumbuh. Menyapih adalah fase anak belajar menerima bahwa dia harus melepaskan sesuatu yang selama ini membuatnya bergantung. Sayang sekali bila kita merusaknya dengan melakukan hal-hal yang traumatis.

Saat umurnya 13 bulan, dia sempat rawat inap selama 2 minggu, include di dalamnya 6 hari di ICU karena Demam Shock Syndrome, ASI ku sempat tidak keluar dalam beberapa hari. Kondisi anak yang dipasang berbagai macam selang agar bisa bertahan hidup membuatku sangat down. Di kurun waktu itu, Radif harus minum susu formula melalui selang NGT. Baru setelah kondisinya jauh membaik, ASI ku bisa keluar lagi. Dampaknya setelah dia keluar dari rumah sakit adalah dia semakin bergantung pada mamanya. Tentu hal ini membuatku berhenti sejenak untuk melanjutkan sounding menyapih, I gave him time to lean on me more. Cause it's all what he needed. 

Bulan berganti bulan, proses sounding ku lanjutkan. Semakin bertambah usia, dia semakin mengerti bahwa sebentar lagi dia sudah tidak bisa minta nenen sesuka hatinya. Terlebih saat dia sudah mulai lancar bicara, dia sudah bisa menjawab kata-kataku, "Radif masih bayi, Radif mau nenen." Begitu terus setiap mamanya sounding. Orang-orang sekitarku membantuku untuk sounding kepada Radif dengan caranya masing-masing. Jawaban Radif juga konsisten, "Radif masih bayi, Radif mau nenen." Satu hal yang selalu ku ingat, menghadapi anak harus konsisten apapun yang terjadi. Semakin kita tidak konsisten, semakin sulit pula bernegosiasi dengan anak. Anak seusia itu sedang membangun konsep pada otaknya. Otaknya sudah belajar mengerti sebab akibat. Terlebih bila sudah memasuki fase terrible two, usia 2 tahun dimana dia mulai bisa merajuk menjadi tantrum. Tinggal siapa di sini yang lebih kuat berpendirian, orang tua atau anak. Itu yang akan mempengaruhi pola komunikasi dengan anak selanjutnya.

Nah, sebenarnya selama proses sounding ini tidak ada masalah sama sekali. Tidak ada hal yang membuatku pusing. Mungkin karena masih dalam bentuk sounding, belum di tahap eksekusi. Tibalah saat usianya genap 2 tahun. Dia mengerti bahwa dia sudah tidak bisa leluasa minta nenen. Saat itu, aku sudah membatasi kuantitas dia nenen, yaitu hanya sebelum tidur siang dan tidur malam. Sejauh ini, tidak ada hambatan berarti. Memang, tetap ada waktu tidak konsisten. Ada kalanya saat dia rewel yang tidak biasa di tempat kerja, aku memberinya nenen sebagai opsi terakhir. Tentu ini bukan hal yang baik. Tapi aku percaya memang tidak semua proses akan sempurna lancar. Ada kalanya kita harus menghadapi sedikit gangguan.

Di usianya yang ke 25 bulan, dia sempat rawat inap selama 2 hari di rumah sakit karena tipes. Kali ini, dia rewel bukan main. Merasa tidak nyaman diinfus dan bosan dengan keadaannya yang hanya terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa kali, suster mengizinkan kami mengajaknya jalan-jalan keliling rumah sakit dengan selang infus yang masih tergantung. Semenjak keluar dari rumah sakit, tiada hari tanpa rewel dan tantrum. Dia hanya mau nenen dan nenen, nempel sama mamanya sepanjang hari. Kami mengira bahwa dia masih merasakan sakit namun tidak bisa menjelaskannya pada kami. Aku dan suami sempat putus asa karena setiap hari dia rewel sekali sampai dengan dini hari. Membuat tetangga ikut kebingungan. Salah satu tetangga akhirnya inisiatif mengajak Radif jalan-jalan naik mobil tengah malam. Di luar dugaan kami, dia ceria dan berhenti menangis. Lalu dari sanalah kami menyimpulkan, Radif rewel bukan karena sakit. 

Aku dan suami semakin mantap dan sepakat untuk segera menyapihnya agar dia tidak lagi bergantung pada nenen. Hari pertama menyapih, sepanjang hari dia masih bisa menerima saat ditolak minta nenen. Nah, tibalah saat jam bobok malam, dia masih merajuk minta nenen. Awalnya saat ditolak dia agak merengek, namun saat ku tawari mau dipukpuk atau digendong, dia mengalah minta digendong. Di luar dugaan kami, dia tertidur dengan mudah dalam gendongan. Aku sungguh tidak menyangka dapat menyapihnya begitu saja tanpa drama, tanpa perlu cuti kerja untuk menemaninya. Aku menangisinya saat melihatnya tertidur tanpa nenen. Aku yang merasa kehilangan momen-momen itu. Rasanya seperti tidak percaya bayi kecilku akhirnya lepas nenen. Ada rasa sedih yang tidak bisa ku jelaskan hingga membuatku nangis sesenggukan. Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa tanpa nenen. Dia sudah bisa menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak bisa nenen lagi meski beberapa kali sempat merajuk manja. But, there's no way back. Thank you for making it easier, Son. We did it. 

0 komentar:

Post a Comment