Pindah : Sebuah Ironi tentang Kesenangan dan Kebingungan

Mengutip kata-kata senior yang tak bosan-bosan ku dengar di semua tempat yang berbunyi, semua akan pindah pada waktunya. Seringnya, kata-kata ini jadi penghibur kaum yang kebetulan bertugas jauh dari kampung halaman. Di sisi lain, menurutku kata-kata ini justru semakin membuatku tidak sabar menanti giliran pindah. Berharap tempat selanjutnya adalah kota kelahiran, atau minimal yang mendekati. Apapun lah agar hidup di rantau tidak sedemikian berat dirasa.

Akhir tahun lalu, suamiku mendapatkan kesempatan pindah ke salah satu kota di pesisir selatan Pulau Jawa. Kaget dan senang dalam satu waktu. Ini tuh beyond expectation. Kami mengira, seperti yang sudah-sudah, kami akan dipindahkan ke Jakarta. Istilahnya bedol desa seangkatan. Mayoritas teman-teman kami seangkatan mengisi spot kosong pada berbagai kantor di ibu kota. Sementara aku dan suamiku diberi kesempatan pindah tak jauh dari kampung halamanku di Klaten. Sebuah berkah di tengah pandemi. Apakah kepindahan ini serta merta mulus, lancar, dan bahagia tanpa cela? Oh jangan lupa, selama tanah yang kamu pijak masih di bumi dan bukan di surga, tidak ada yang sempurna, tidak akan pernah ada. 

Ini adalah kali ketigaku pindah kota, kali kelima kalau dihitung dari OJT, sekaligus kali keduaku mutasi. Dulu, aku hanya pindah membawa diriku seorang. Kini, kami pindah satu paket, aku, suami, dan anak balita. Di hari-hari rutinku sebelum itu, aku selalu membayangkan bagaimana nanti jika pindah dari pulau kecil itu. Barang-barang apa saja yang akan ku angkut atau ku jual atau ku ikhlaskan begitu saja. Butuh berapa banyak biaya untuk mengangkutnya ke tempat baru. Iya, ku bayangkan saja tanpa pernah ku hitung atau ku list sejak awal. Karena bagiku, menatausahakan barang-batang tersebut sebelum SK keluar adalah sebuah bentuk memberikan harapan kosong pada ekspektasiku sendiri. Dan aku tak mau itu membuatku bete tanpa alasan.

Hingga harinya tiba, aku bingung. Aku senang, tapi juga bingung. Aku harus memulainya darimana. Aku bingung menentukan prioritas. Aku merasa jadi kayak orang tak berpengalaman begini dalam urusan packing. Padahal hidup kami isinya pack and unpack barang tiap saat. Ritme pekerjaan akhir tahun yang cukup menyita waktu dan tenaga kami, menyisakan lelah saja setibanya di rumah. Badan tidak mau diajak begadang barang sejenak untuk mencicil bawaan. Capek. Aku masih ingat akhir tahun lalu aku dan suamiku harus beberapa kali lembur menyelesaikan pekerjaan, belum lagi aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebagai syarat aku bisa mengajukan pindah mengikuti suami. Tidak hanya itu, risiko kami juga bekerja mengajak anak balita yang sedang aktif-aktifnya. Menyelesaikan berbagai deadline sambil menanggapi ajakan main anak, tidak menyangka aku berhasil melewatinya. 

Suasana acara perpisahan

Minggu terakhir kami masuk kantor, proses packing dan mengirim barang belum usai. Hari terakhir di kantor, malamnya kami mengikuti acara perpisahan dengan kondisi packing belum selesai. Bubarannya sudah tengah malam, aku menyuruh suamiku tidur duluan dan ku lanjutkan packing sendiri dengan harapan kami semua tidak dalam kondisi habis tenaga dan kurang tidur keesokan harinya. Seenggaknya saat besuk aku tepar di jalan, dia bisa menghandle semua hal sendiri. Sadly, ternyata proses packing lebih ribet dari yang ku pikir. Hingga menjelang subuh belum juga selesai padahal kami ada flight pagi. Suamiku bangun dan menyuruhku istirahat barang sejam. Aku bangun dengan kondisi masih banyak yang harus ku bereskan. Kami dihubungi oleh orang-orang kantor. Memastikan persiapan kami selesai dan proses check in beres. Mengetahui kami masih riweuh dengan barang-barang, berbekal koneksi dengan pihak bandara, rekan-rekan kantor mengurusi proses check in di bandara hingga selesai. Kami datang mepet jam boarding berkat bantuan rekan-rekan kantor yang sudah setia menunggu kedatangan kami. Barang-barang kami dibantu masuk ke bagasi. Beruntung, tidak ada kelebihan muatan sehingga kami tidak perlu menambah biaya.

Foto bersama di samping bandara Umbu Mehang Kunda

Sebuah foto yang ku abadikan untuk menghargai kebaikan-kebaikan mereka semua hingga di detik-detik terakhir kami pindah dari pulau kecil itu. Rekan-rekan kantor, stakeholder dan semua orang yang secara langsung maupun tidak langsung membantu kepindahan kami. Tidak lupa juga ku beritahu bahwa beberapa barang kami belum sempat terbawa dan akan dibantu pengurusannya oleh rekan kantor. Ku rasa, terima kasih saja tidak akan pernah cukup.

Apakah rangkaian kepindahan kami hanya sampai di situ? Sayangnya tidak. Kami sempat perlu transit Bogor selama hampir 2 minggu untuk menghadiri pernikahan adik iparku, alias adik kandung suamiku. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar. Penerbangan ke Jakarta on time, transit Bali tidak ada drama berarti meski harus was-was kerumunan, tiba di Jakarta langsung dapet grab ke Bogor dengan protokol kesehatan alias mobilnya dikasih pembatas. Kebetulan sejak pandemi, Jakarta-Bogor cukup lengang. Sampai di rumah, langsung mandi, ganti baju. Keesokan harinya menghadiri pernikahan adik ipar. Habis itu lebih banyak menghabiskan waktu stay at home sambil banyak-banyak order gofood atau menikmati masakan mertua. Kami sempat staycation di salah satu penginapan jauh dari keramaian kota. Cukup menyenangkan meski lelah sekali karena sambil jagain anak balita yang maunya gerak terus. Lain kesempatan, staycationnya mungkin akan cari yang dekat rumah saja.

Tahu tidak? Aku dan suamiku cukup kalem dan santai sekali padahal kami belum dapat kontrakan di Cilacap. Belum tahu mau mudik naik apa. Tapi yaudah gitu aja menjalani hari-hari di Bogor kayak bakal tinggal lama di situ. Tiap ditanya orang, gimana rencana kalian? Cuma bisa cengengesan hehehe saja karena jujur bingung banget pindahan pas pandemi begini.

Awalnya, kami akan mudik menggunakan kendaraan pribadi, bareng sama adik-adikku yang juga akan mudik akhir tahun. Tapi ternyata, karena satu dan lain hal, mereka sudah berangkat duluan. Lalu terpikirlah untuk menyewa mobil travel ke Cilacap. Nah, di Cilacap nanti bagaimana mobilitasnya? Bingung lagi, hehehe dasar anaknya kadang suka spontanitas. Akhirnya, dengan segala risiko, di detik-detik terakhir kami memutuskan saja naik pesawat ke Solo via Halim karena Soetta udah kayak lautan manusia hilir mudik. Kami sudah pernah ke Halim sebelumnya dan menurutku lebih efisien perjalanannya. Tak perlu takut telat karena jaraknya lebih dekat. Dengan bawaan sebanyak orang pindahan, kami memutuskan naik grab family

Tiba di Solo, kami dijemput oleh adik dan ibuku. Karena hanya punya waktu 2 hari sebelum masuk kantor baru, kami ke Klaten hanya transit beberapa jam saja untuk istirahat siang dan makan serta mengambil beberapa barang. Sorenya, kami langsung bergegas ke Cilacap menggunakan mobil berbekal google maps. Kami sempat salah ambil rute karena rute tersebut ternyata melewati medan yang sepi dimana hutan berada di kanan kiri kami. Papasan dengan kendaraan lain bisa dihitung dengan jari. Cukup seram sih untung tidak sendiri. Karena beberapa kali berhenti untuk sholat, makan, maupun ke toilet karena Radif kebelet pup di jalan, kami baru tiba di Cilacap tengah malam. Kalau dihitung lurus jamnya, perjalanan itu kami tempuh selama hampir 7 jam. Lama karena ya itu tadi, sering berhenti. Aku sudah booking hotel tak jauh dari kantor. Lumayan untuk melepas lelah dan bisa sarapan gratis keesokan harinya. 

Karena kami hanya punya sisa waktu sehari itu saja, hari itu langsung kami gunakan untuk mencari tempat tinggal. Beruntung, kami menemukan rumah kontrakan yang masih bersih dan baru serta harga terjangkau. Selain itu yang melegakan, tempatnya tak jauh dari kantor serta fasilitas umum lainnya. Rejeki anak-anak mageran. Terima kasih pada doa ibu dan mama kami.

Hari-hari berikutnya kami isi dengan proses adaptasi di sana sini, belanja isi kontrakan, belanja kebutuhan sehari-hari, ke kantor sambil bawa anak lagi karena belum menemukan pengasuh, belajar menghafal jalan, dan lain sebagainya. Intinya, selama satu bulan lebih di sini, masih banyak sekali hal yang harus kami kerjakan sampai bisa settled. Belum lagi, dana darurat terkuras. Banyak hal yang bisa disyukuri di tengah pandemi. Pindah ke kota dekat kampung halaman. Mendapatkan kemudahan dalam banyak hal. Bertemu orang-orang baik di banyak tempat. Namun, hal ini membuatku menarik sebuah kesimpulan. Pindah itu juga sebuah ironi tentang kesenangan maupun kebingungan. Senang mendapatkan SK mutasi ke Jawa, tapi bingung mulai darimana. Bingung adaptasi lagi. Bingung sama pengeluaran yang membengkak di awal kepindahan, serta kebingungan-kebingungan lainnya yang dirasakan orang pindahan. Sering kali tiap ditanya orang-orang di jalan, jawaban kami hanya bisa bilang, maaf pak/bu kami baru pindah. Privilage tuh macam-macam bentuknya, bisa tinggal menetap di kota kelahiran juga sebuah privilage. Tapi hidup tidak selalu tentang menggunakan privilage, lebih seringnya hidup adalah pilihan meninggalkan privilage demi pilihan hidup lain yang memang sudah takdirnya begitu. Mengeluh atas segala keadaan dan rasa lelah yang ada bukan berarti tidak bersyukur. Kembali lagi, apapun keadaan yang kita dapat, tidak akan pernah kita terima dengan kondisi 100% sempurna. Selalu ada cerita lain di balik layarnya. I feel happy and content yet tired at the same time and that's perfectly fine.

0 komentar:

Post a Comment