Beberapa waktu yang lalu saya sempat berbincang-bincang dengan Dosen Pembimbing saya melalui akun google talk. Beliau sempat mengajak saya berdiskusi ringan mengenai islamic finance dan islamic economic. Kebetulan sekali saya cukup tertarik dengan dunia ekonomi dan keuangan syariah yang sedang hangat diperbincangkan selama sedekade belakangan ini. Dalam hal ini, beliau membuka wawasan saya mengenai manfaat zakat jika dianalogikan sebagai APBN. Perbincangan kami selama beberapa menit ini bisa sedikit saya rangkum dalam beberapa paragraf pendek di bawah ini.
Indonesia adalah negara dengan mayoritas pemeluk muslim terbesar di dunia. Meskipun bukan merupakan negara islam, berbagai kebijakan terkadang tanpa kita sadari sering menerapkan hukum islam. Tak terkecuali dalam bidang ekonomi dan fiskal. Hal ini bisa dilihat dari pasar keuangan domestik yang akhir-akhir ini mulai mengenalkan istilah ekonomi dan keuangan syariah. Perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2008 dengan didirikannya sebuah direktorat baru dalam tubuh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, direktorat yang khusus menangani masalah pembiayaan APBN, yakni Direktorat Pembiayaan Syariah. Direktorat ini bisa dibilang sebagai bentuk gambaran keuangan syariah jika dilihat dari kaca mata pembiayaan. Namun, kali ini saya tidak akan membahas masalah pembiayaan. Saya sedang tertarik membahas keuangan syariah dalam kaca mata penerimaan. Itulah yang sebenarnya sedang dibutuhkan oleh negara yang masih mempunyai puluhan juta rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan ini.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, sehingga secara legalitas negara bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup serta kesejahteraan mereka. Dalam ajaran islam, mereka yang masuk golongan tidak mampu ini menjadi kewajiban bagi mereka yang masuk kategori mampu sesuai dengan ketentuan wajib zakat. Jika hendak memandang penerapan ekonomi maupun keuangan syariah dari segi penerimaan, ada banyak hal yang bisa diambil sebagai alternatif. Salah satunya adalah mekanisme zakat. Zakat yang biasa kita kenal adalah zakat harta benda (maal) dengan jumlah kewajiban 2,5% dari harta yang kita miliki. Pemberian zakat ini tentu saja bertolak dari hukum yang berlaku di dalam ajaran islam. Delapan golongan yang berhak menerima zakat tersebut dapat dianalogikan sebagai seluruh rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan (terkecuali mualaf). Jika saja mekanisme zakat yang ada dalam ajaran islam, dimana merupakan keyakinan mayoritas negara ini, berhasil diterapkan, rakyat akan merasakan ratanya distribusi pendapatan dengan adil. Pajak yang selama ini merupakan sumber pendapatan utama APBN (70%) dapat dilengkapi dengan zakat kepada para penerima zakat yang tentu saja dengan pertimbangan sematang mungkin agar masyarakat tidak merasa semakin berat.
Dengan mekanisme zakat ini, masyarakat miskin akan terbantu oleh masyarakat yang lebih mampu. Hal ini tentu saja tidak serta-merta menjadikan peran negara sebagai penanggung jawab kesejahteraan rakyat menjadi hilang. Negara menggunakan APBN sebagai bagian anggaran yang akan membiayai seluruh kegiatan dan program-program pemerintah serta mekanisme zakat yang akan menjadi bagian dari program peningkatan kesejahteraan. Penyaluran zakat haruslah lembaga independen yang secara kinerjanya bersih dari KKN. Jangan sampai niatan baik ini kian menimbulkan masalah baru.
Ya, sayang sekali diskusi saya dengan Pembimbing saya tidak lama sehingga saya masih belum memahami mekanisme zakat yang bagaimana yang baiknya diterapkan sebagai analogi APBN. Mungkin di lain waktu akan saya tanyakan lagi kepada beliau. Ide ini semoga memberikan hasil sebaik niatnya.
Dengan mekanisme zakat ini, masyarakat miskin akan terbantu oleh masyarakat yang lebih mampu. Hal ini tentu saja tidak serta-merta menjadikan peran negara sebagai penanggung jawab kesejahteraan rakyat menjadi hilang. Negara menggunakan APBN sebagai bagian anggaran yang akan membiayai seluruh kegiatan dan program-program pemerintah serta mekanisme zakat yang akan menjadi bagian dari program peningkatan kesejahteraan. Penyaluran zakat haruslah lembaga independen yang secara kinerjanya bersih dari KKN. Jangan sampai niatan baik ini kian menimbulkan masalah baru.
Ya, sayang sekali diskusi saya dengan Pembimbing saya tidak lama sehingga saya masih belum memahami mekanisme zakat yang bagaimana yang baiknya diterapkan sebagai analogi APBN. Mungkin di lain waktu akan saya tanyakan lagi kepada beliau. Ide ini semoga memberikan hasil sebaik niatnya.
0 komentar:
Post a Comment