Beberapa waktu yang lalu, aku sempat membaca kicauan dari salah
satu akun di linimasa media sosial twitter
mengenai cita-cita. Banyak di antara pengguna twitter yang dalam hal ini sepantaran denganku, telah berstatus
sebagai seorang pekerja, turut serta berbagi tentang cita-cita mereka. Lantas,
apa yang salah dengan pertanyaan seputar cita-cita yang diajukan kepada seorang
pekerja yang sudah menyandang status pada sebuah profesi tertentu? Jawabannya,
tidak ada yang salah. Boleh jadi masing-masing dari kita saat ini ada yang sedang
terjebak dalam pekerjaan yang sama sekali berbeda dengan apa yang pernah
dicita-citakan saat berada di bangku sekolah atau kuliah. Ada yang nyaman-nyaman
saja, pun ada yang justru merasa tertekan atau seperti kataku barusan, merasa terjebak.
Barang kali pula, sebuah cita-cita diartikan berbeda oleh masing-masing orang.
Cita-cita bisa saja bukan hanya persoalan kamu ingin menjadi apa saat besar nanti
atau apa pekerjaan impianmu saat sudah lulus nanti. Cita-cita bisa juga
diartikan sebagai sebuah keinginan atau impian dalam banyak hal, tidak berhenti
hanya seputar pekerjaan atau profesi impian.
Aku dan Cita-citaku
Ada profesi lain yang serupa dengan guru, namun namanya terdengar lebih keren. Dosen. Ya, ide itu tiba-tiba saja mampir ke otakku ketika lebaran entah tahun berapa, mungkin tahun yang sama ketika aku duduk di bangku kelas 1 SMP. Aku mendengar ada salah satu kerabatku menjadi seorang dosen di salah satu kampus di daerahku. Katanya kemudian, dengan menjadi dosen, kamu bisa jadi akan diundang untuk mengajar di universitas ternama lainnya di luar negeri, seperti Australia misalnya. Iya, tolong digarisbawahi pada frase luar negeri. Sebagai seorang anak yang dibesarkan di sebuah desa kecil, pun jarang diajak keluar kota, aku merasa penasaran. Tempat itu begitu menggema di hatiku seakan-akan luar negeri yang jauh itu adalah tempat yang keren dan hebat. Aku ingin menjadi dosen karena aku ingin mengajar hingga ke luar negeri. Iya, sesederhana itu sebuah cita-cita berubah. Hanya karena sesuatu yang menurutku terdengar lebih hebat. Apa ada yang salah dengan anggapan seperti itu? Jawabannya adalah tidak ada yang salah sama sekali. Itu sah-sah saja. Bukankah pepatah mengatakan “Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Apalagi yang lebih tinggi dari langit? Bukankah itu artinya, kita berhak punya cita-cita setinggi-tingginya. Bukankah katanya punya cita-cita itu gratis? Iya, tapi ada syaratnya.
Gratis yang Bersyarat
Semakin dewasa, aku semakin belajar banyak mengenai teori
tentang harapan dan kenyataan. Tak semua harapan berbanding lurus dengan
kenyataan. Pun soal cita-cita. Iya, punya cita-cita memang gratis. Cara untuk
meraihnya yang tidak gratis. Ini bukan melulu tentang uang. Bisa jadi kamu
harus membayarnya dengan usahamu, kerja keras, belajar giat lebih dari
kebanyakan, hidup prihatin, kalau yang relijius ya tentu mengimbanginya dengan
ibadah-ibadah sunnah, dan sebagainya, dan sebagainya. Lalu setelah semua itu,
apakah kamu dijamin bakal langsung berhasil? Tidak juga. Terkadang semuanya
kalah dengan nasib. But trust me, Hard works paid off. Iya, harga yang
harus kamu bayar memang tidak murah, tidak mudah, dan sering kali tidak
menyenangkan. Kecewa? Pernah. Merasa seperti sedang berjuang sendiri? Sering. Gagal?
Tidak hanya sekali. Tapi kenapa banyak yang sukses meraih cita-citanya dengan
mudah? Kamu saja yang tidak tahu bagaimana dia berjuang mendapatkannya. Kalau kamu
bukan anak orang penting yang bisa mendapatkan apa yang kamu mau dengan mudah,
maka caramu membayarnya adalah dengan kegigihanmu.
Back Then,
Aku tidak munafik bahwa aku bekerja untuk dibayar. Tapi, aku selalu punya prinsip. Bekerja keraslah sesuai dengan penghasilanmu atau lebih dari itu. Maksudku, bekerjalah dengan profesional meskipun terkadang kamu harus rodi lebih dari yang lain. Bekerjalah sesuai dengan tugas dan fungsimu. Jika mampu, kerjakan sesuatu yang lebih asal tidak bertabrakan dengan SOP. Iya, tidak apa-apa lebih dari yang lain, asal tidak kurang. Saat kamu merasa lelah dengan semua yang ada dalam pekerjaanmu, pikirkan bagaimana dulu kamu berusaha mendapatkannya. Pikirkanlah banyak pengangguran di luar sana yang mungkin saja bersedia dengan senang hati menggantikan peranmu. Sering mengeluh? Tidak apa-apa. Kamu manusia bukan robot. Kamu tentu akan sering mengalami ketidakpuasan di tempat kerja, nikmati saja dinamikanya. Toh, pada akhirnya jika kamu masih membutuhkan pekerjaan itu, kamu juga akan kembali pada pekerjaanmu esok harinya. Belajarlah bersyukur hingga kamu benar-benar tak lagi dapat mengingat kelelahanmu. Belajarlah dengan ikhlas hingga bahkan kamu bisa sangat menyukai pekerjaanmu. Berat? Iya, tapi bukan yang terberat. Masih banyak yang lebih berat darimu barangkali. Apa aku sudah melakukannya seperti apa kataku barusan? Percayalah, aku juga sedang terus belajar bersyukur. Mengeluh pada berbagai problema selama bekerja? Sering. Tapi bukan berarti semua itu lantas membuatku tidak suka atau lelah dengan pekerjaanku. Aku selalu menyukai semua hal yang sedang ku jalani (pada akhirnya) meskipun sering kali ku mulai dengan muka masam (baca postinganku berjudul Tuhan Memang Hebat).
Cita-cita dan Impian
Setiap orang terlahir dengan minat dan bakatnya sendiri-sendiri. Ketika dewasa, minat dan bakat itu mereka tuangkan menjadi passion. Lalu, saat memasangkannya dengan kegiatan tertentu, kita menyebutnya dengan hobi. Kalau kata Ridwan Kamil, salah satu hal yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar. Bagi sebagian orang, mereka merasa beruntung saat dapat menjalani sebuah pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Sesuai dengan passion mereka dan bahkan mampu mengaktualisasi hobi mereka. Ya, mungkin juga karena mereka beruntung dapat mengambil bidang studi sesuai passion mereka tanpa tekanan dari pihak lain. Sebagian yang lain, bekerja sesuai dengan jurusan atau bidang studi yang mereka ambil semasa menimba ilmu, entah itu sesuai atau tidak dengan minat atau bakatnya. Lalu tak sedikit pula yang keluar dari comfort zone nya, bekerja di luar bidang studinya, pun di luar passion nya. Ada yang merasa berhasil, tak jarang pula yang merasa gagal. Iya, aku mengambilnya dari sudut pandang yang melakoni. Karena pada akhirnya kita hanya sebagai penonton atas apa yang sedang dijalani oleh orang lain. Ada pula yang sudah dapat mengatakan, “Aku sudah meraih cita-citaku.”
Seorang kakak tingkat di kampusku dulu pernah bercerita
tentang sebuah impian yang dimiliki oleh teman sekamarnya, yaitu ingin menimba
ilmu di Oxford University. Dia bahkan selalu membuat daftar keinginannya dalam
selembar kertas, lantas melakukan check
list pada setiap daftar keinginan yang sudah berhasil dilakukan atau
diraihnya. Aku pernah terinspirasi untuk melakukan hal yang serupa, namun
sayangnya aku tak serajin itu. Yeah, pardon
me. Menjadi konsisten memang tidak mudah. Sangat tidak mudah. Semua hal
yang kita inginkan, apapun itu, selama belum dapat kita raih, itulah yang
disebut impian. Maafkan definisi sederhana ini. Bukankah ya, setiap orang punya
cara tersendiri dalam mendefinisikan sesuatu, di luar terminologi ilmiah
tentunya. Aku juga sedang dalam perjalanan untuk menemukan dan meraih impian
serta cita-citaku. Pada akhirnya kita belajar dalam bekerja dan bekerja dalam belajar, pun belajar untuk bekerja atau bekerja untuk belajar. Kamu bisa memilih untuk menyepakati yang manapun. Apapun cita-cita dan impianmu, jangan biarkan siapapun
menertawakannya. Sekecil apapun itu. Karena menurutku, semua impian dan cita-cita itu baik selama itu baik. Dan semua pekerjaan itu baik selama itu baik. Maka dari itu, kita berdoa meminta kebaikan-kebaikan yang ada pada pekerjaan beserta segala kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya serta perlindungan dari segala keburukan dalam pekerjaan beserta keburukan-keburukan yang ada di dalamnya.
Jadi, apa cita-citamu?
0 komentar:
Post a Comment