Tak Paham

Ada kata yang sengaja tak terpakai dalam kamus seseorang. Terabai saja saat seharusnya menggunakan bagian itu. Seakan ada paradoks dalam dirinya yang memaksanya tenggelam dalam kesungguhan mengutuki kenyataan. Tanpa pengampunan yang pantas. Sebuah penghakiman yang tak cukup adil, namun demikian yang dipilihnya. Untuk menghapus segala tanda tanya bagi mereka yang terusik oleh segala bentuk teka-teki di tiap benang mielin dalam sarafnya. Sebuah kata bernama PAHAM.

Seharusnya memang ada begitu banyak pertanyaan yang butuh diretas dalam sebuah pernyataan oleh seseorang. Tak pelik lagi bukanlah hal yang pantas ia hindari. Pun meski dirinya paham, tak jua membebaskannya dari kewajiban untuk menerangkan kepada siapapun yang kini kian tak mengerti dan hanya ia yang sanggup mengambil alih. Terkadang ia sendiri menyadari itu mungkin saja penting  baginya, pun bagi yang lain. Tapi yang tak kunjung ia dapati adalah sebuah alasan untuk memaksanya paham. Ia tak lagi bisa menerapkan garis-garis batas pada inderanya dengan jelas agar setiap substansi dalam dirinya tak tercecer layaknya kehilangan ruang. Segalanya menjadi demikian rumit manakala tengah dihadapkan pada sebuah realitas di kalangannya sendiri. Bagaimanapun, ia adalah bagian komunitas itu dan ia selalu harus terlibat. Meskipun itu semua mungkin saja tak serta merta menjadi bagiannya.

Merenungi setiap memoar, setiap kata, setiap detik waktu, setiap helaan nafas, setiap delik tatapan, semuanya terasa begitu samar. Seakan hendak menjadi putih, namun akhirnya menjadi hitam atau bahkan terjebak di keduanya. Ia tak suka situasi itu, abu-abu. Semua pada akhirnya menjadi paradoks dalam pikirannya sendiri. Kali ini bahkan tanpa melibatkan hatinya. Ia mulai kehilangan kendali atas dirinya. Apakah benar semua yang ia salahkan dan ia benarkan itu adalah hal yang seharusnya demikian atau sebaliknya? Retoris. Ia menganggap semua memang tiada lagi berbatas. Terkadang ia biarkan saja pertanyaan-pertanyaan itu menghantui mereka, juga dirinya. Semakin lama mengais seakan semua makin keruh saja. Ia tak paham mengapa harus begini dan mengapa begitu yang terjadi. Baginya dunia seakan telah mengajaknya terlibat dalam permainan raksasa yang menipu semua panca inderanya. Perkara ini seharusnya sederhana saja. Seharusnya tak ada bagian dari dirinya yang dikhianati keadaan. Sayangnya, ia semakin tak paham.

0 komentar:

Post a Comment