Aku tidak sedang membicarakan dia atau mereka, atau justru kamu ataupun kalian. Ini semua tentang aku. Aku dan satu mimpi kecilku. Sebuah keinginan sederhana yang ku kemas menjadi satu dengan mimpiku menimba ilmu di kampus perjuangan ini. Kampus yang letaknya lebih dari 542 km, menempuh perjalanan 9 jam 45 menit dari rumahku.
Betapa satu impian kecil itu pun turut serta pula dalam list harapan besarku. Konyol mungkin kedengarannya jika mengingat usiaku kala itu sudah tak lagi kecil. Aku terbiasa mendaftar semua inginku dalam angan agar tak satu pun terlewat. Pun untuk satu mimpi kecil ini.
Satu mimpi berjudul "Ingin Bertemu Taufik Hidayat". Silakan tertawa, itu mungkin memang terdengar kampungan, konyol, tak berkelas atau bahkan justru muluk di mata kalian. Tapi, hey aku juga pernah menjadi seorang penggemar sama seperti kalian yang mungkin juga mempunyai idola. Misal saja boyband-boyband asal Negeri Ginseng yang ramai kalian elu-elukan itu. Aku tak terbiasa menggemari seorang tokoh yang bukan pahlawan. Tapi, pada kenyataannya aku pun punya jiwa remaja kala itu sama seperti kalian. Wajar jika ada sosok yang menarik perhatianku meskipun itu jauh berbeda selera dibanding remaja-remaja seusiaku. Biarkan saja. Well, itu adalah salah satu jawaban pertanyaan mengapa aku ingin sekali kuliah di Jakarta. Sederhana saja, Istora Senayan dan Pelatnas Cipayung lebih terjangkau jaraknya jika aku berada di Jakarta. Sederhana.
Setahun demi setahun aku lewatkan tanpa satu pun impian ku check list. Seakan semua impian ku lupakan. Seakan semua itu tak lagi penting buatku. Indonesia Open hingga dua kali digelar pun tak urung membuatku bergegas ke Senayan. Berkali-kali libur kuliah tak pernah ku gunakan satu hari pun untuk menengok Pelatnas. Ya, impian bisa saja berubah seiring dengan agenda-agenda baru yang kita punya, seiring dengan hal-hal baru yang kita hadapi dan kita lihat serta mungkin berhasil membarukan kita. Saat itu, bukan aku lupa. Aku mungkin sedang kebingungan darimana harus memulainya. Ide ini begitu konyol dan kekanak-kanakan jika dibicarakan dengan orang lain. Aku tak suka melibatkan orang lain dalam satu misi ini.
Tiket DIOPSS kelas 1 |
Rabu, 12 Juni 2013. Pertandingan ceremonial untuk menutup karir gemilangnya pun dihelat. Media, pers, penonton, penggemar, semua bertumpah ruah tak ingin ketinggalan menyaksikan momen itu. Tak terkecuali juga aku, yang sudah sangat mendamba ingin bertemu dengan beliau, melihat secara langsung dengan mataku, bukan dibentengi layar teve lagi. Ya, aku akhirnya bisa bertandang di pertandingan beliau justru saat itu beliau mengabadikannya sebagai pertandingan terakhir untuk menutup karirnya di dunia bulutangkis.
Resah menunggu kapan beliau lekas bertanding, apalagi melihat waktu yang dijadwalkan ngaret hingga dua jam lebih. Pikiranku seakan membelah menjadi dua dan mereka saling bersaing. Sebagian mneyuruhku pulang saja daripada tak bisa masuk indekos gara-gara melewati jam malam dan sebagian lagi memihak hatiku dengan berkata "Tunggu dulu saja, mungkin sebentar lagi. Bukankah kamu sudah menunggu tiga tahun untuk kesempatan ini. Bukankah ini adalah pertandingan terakhir beliau. Apa kamu tak merasa sayang sudah menunggu selama ini tapi justru berhenti begitu saja. Setelah ini kamu tak akan pernah bisa menyaksikan beliau bertanding. Tunggulah, pasti sebentar lagi." Aku tak mau kehilangan momen ini setelah seharian menunggu. Tapi, waktu terus berjalan hingga malam kian larut di Istora. Hingga detik yang dinanti pun tiba. Bunyi pengeras suara yang menyebutkan nama beliau dengan begitu bersemangatnya membahana ke seluruh penjuru stadion. Semua mata tertuju pada satu titik itu. Tak terkecuali dua buah bola mataku. Seakan mereka tak hendak berkedip barang sejenak pun untuk melewatkan titik merah di depannya itu bergerak maju sembari menyunggingkan sebuah senyuman ramah. Tuhan, jika dapat ku gambarkan betapa itu detik-detik yang luar biasa dalam hidupku. Mungkin memang berlebihan. Tapi, begitulah buncahan kegembiraan itu dengan nyata memancar dari kedua buah mataku.
Sayang sekali waktu memaksaku beranjak di babak kedua dari tiga babak yang akhirnya harus beliau selesaikan. Aku tak berharap banyak saat melangkah meninggalkan Istora. Namun, tentu aku sangat ingin momen terakhirnya ini terdokumentasi dengan manis. Setelah separuh perjalanan pulang, aku sempat browsing info terbaru dari Senayan. Meski bukan kabar baik, tetapi kabar itu terlalu kecil untuk membunuh kebanggaanku pada beliau. Meskipun menyerah tiga set dari seorang pemain berkemampuan rata-rata, aku tetap masih menyimpan luapan kebanggaan atas karir gemilangnya selama 25 tahun bergelut di dunia yang juga ku cintai ini sebagai seorang penonton setia. Terima kasih, Taufik Hidayat. Dunia dan khususnya negeri ini akan senantiasa mencatat dan mengingat nama besarmu sebagai legenda bulutangkis. Semoga eramu akan terulang kembali. Semoga akan ada penerusmu dalam mengembalikan kejayaan bulutangkis ke tangan Indonesia sekali lagi.
0 komentar:
Post a Comment