Adil


Aku sering mendengarnya diseru-seru dengan begitu meyakinkan. Berharmonisasi seperti paduan suara. Suara-suara yang mengatasnamakannya itu begitu ringan mengudara di negeri ini. Memantul dari segala penjuru seakan meminta jawaban. Mungkin pada yang disuarakan, mungkin juga pada yang bersuara. Tidak ada yang membuat kesepakatan di antara keduanya. Hanya didengungkan saja seperti getar bunyi berfrekuensi rendah pada sayap nyamuk. Seakan meminta segala indera untuk segera melenyapkannya ketika mulai mengganggu. Dan, segalanya membisu kemudian.

Untuk negeriku, atau bahkan untuk satu tubuh dalam diriku. Aku tak tahu apakah suaraku ini ikut menggema bersama suara-suara asing di atas sana. Bisa jadi yang ku ratapi sebagai sebuah permintaan itu beradu pula dengannya. Terdengar sama meski itu sungguh berbeda sama sekali. Berbeda, namun dikelompokkan di ruang yang sama, tanpa sedikitpun diberi kesempatan untuk menjelaskan letak bedanya. 

Aku, seperti biasanya aku, menolak mengakui diri telah bertengger pada sebuah dahan bernamakan keberuntungan. Aku masih saja menuntut rasa adil untuk diriku. Entah kepada yang lain atau justru lebih kepada diriku sendiri. Sering kali aku menghitung mundur, sesekali maju, hitungan dalam detik-detik yang tak ku pahami kemauannya. Menciptakan senyawa sebagai obat kebingungan atas diri sendiri. Seolah aku hendak meracik wujud keadilan itu dengan bumbu-bumbuku sendiri dalam resep kehidupanku ini. Entah negeri ini telah payah menyuguhkan rasa adil atau memang dimana pun letakku, rasa adil itu akan tetap termangu dalam bayanganku. Tak berkutik sedikitpun.Tak terjamah. Bahkan oleh imajinasiku.

Terkadang ada beberapa bagian dari porsi teriakanku dalam menyuarakan ratapan hati pada setiap perlakuan yang entah dengan jujur atau sengaja menghakimi kekuranganku itu, aku coba senyapkan. Aku tak yakin itu adalah salah satu elemen nomenklatur adil. Aku tak punya kesabaran yang cukup untuk menunggu Sang Ratu Keadilan menjelaskan. Aku ragu menyodorkan tuntutanku yang tanpa legalitas di mata sang hukum nasib. Aku takut tak didengarkan. Aku takut semakin diinjak sebagai makhluk tak tahu diri. Aku takut suaraku berintonasi terlalu cepat hingga tak satu pun kata dapat diterima mereka sebagai bentuk pemahaman. Aku takut rasa adil itu hanyalah sebuah anomali dalam kehidupanku yang tak terjamah indera mereka. Aku takut mereka semakin tak mengerti, semakin menghujat, semakin menertawakan, semakin tak peduli pada nasib sebongkah jiwa ini, dan terburuknya, semakin hilang tanpa pernah mau kembali. Bahkan untuk sekadar menengokkan leher, kepadaku. Sekuat apapun aku berdiri tegak sendiri di pinggir karang ketegaran, tetap saja aku tak punya daya yang cukup untuk menghalau kerapuhan diri untuk tidak menjatuhkan diri ke jurang putus asa di bawah sana. Aku tak tahu bagaimana rupa adil. Aku tak mengenal kata itu sama sekali. Mungkin ia memang begitu kompleks untuk ku pahami, atau dengan pemahaman yang berbeda ia justru mengajariku tegar, sadar, apatis, dan realistis. Aku terlalu kecil untuk kata adil. Teramat kecil. Seperti halnya seekor amoeba di bawah mikroskop tanpa pembesaran lensa okuler dan lensa obyektif. (Seakan) Tak terlihat. Seakan nomenklatur adil hanyalah ketuk palu saja dan semua selesai, tanpa melihatku ada. Mungkin saja.

0 komentar:

Post a Comment