Aku datang ke kota ini dengan seribu harapan. Aku datang seperti seorang ksatria perang yang yakin akan memenangkan pertarungan di medan tempur. Aku datang untuk memenuhi kantong harapanku dengan sebuah hasil. Tak hanya membawa harapan dari diri sendiri melainkan juga harapan-harapan dari orang-orang terdekat, terutama orang tua. Tinggi sekali ekspektasi mereka terhadap anak sulungnya ini. Banyak tapi sungguh hanya satu intinya, begitu sederhana, melihat anaknya sukses.
Tahun-tahun awal masih bisa ku rasai optimisme menemani langkah-langkah yang ku ambil. Menciptakan sebuah kepastian pada diri sendiri untuk terus bangkit dari segala keputusasaan. Doa orang tua terutama ibu tak pernah berhenti dikirim ke tempatku. Ke kota ini. Kota yang penuh dengan kiriman doa dari kampung halaman di seluruh Indonesia. Aku tak pernah berhenti menjadi gadis yang bersemangat meniti tangga kesuksesan di kampus perjuangan ini.
Namun, banyak hal terjadi selama tiga tahun ini. Tak pelak, hal-hal tersebut justru lebih sering membuat kecewa orang tuaku. Rasanya aku tak lagi pantas mereka banggakan. Tahun ketiga ini, tepat di penghujungnya, masih tak banyak yang bisa ku perbuat untuk mereka. Aku hanya bisa meminta. Terus meminta. Itu bukan aku. Itu bukan aku 3 tahun yang lalu. Aku mulai merasai pesimis mendatangiku. Itu bukan aku. Aku dan pesimis tak pernah berkawan. Tetapi, kini aku benar-benar mulai kehilangan diri. Kehilangan minat pada sekitar. Entah, mungkin aku hanya sedang bosan.
0 komentar:
Post a Comment