, ,

Kesan Pertama Pada Kota Waingapu

Pertama kalinya tiba di kota asal kuda sandlewood ini, saya langsung disuguhi dengan teriknya panas matahari yang seakan membakar kulit. Kota yang terletak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur ini sama seperti kebanyakan gambaran daerah Timur lainnya yang terkesan gersang dan langka sumber air. Meskipun beberapa tahun belakangan, kondisi gersang dan kesulitan air tersebut sudah cukup dapat diatasi oleh pemerintah setempat. Dari atas pesawat, saya dapat menyaksikan bukit-bukit Pulau Sumba yang terlihat mulai menguning di akhir Bulan Mei. Rupanya saya sedikit kurang beruntung saat itu. Menurut penuturan suami saya, bukit-bukit itu akan terlihat hijau dan cantik pada musim penghujan. 
Gerbang Bandara
Pulau Sumba terdiri dari empat kabupaten yang terpisah cukup jauh satu sama lain, yaitu kabupaten Sumba Timur, kabupaten Sumba Barat, kabupaten Sumba Barat Daya, dan kabupaten Sumba Tengah. Kondisi medan yang kurang baik dan luasnya Pulau Sumba sendiri itulah yang membuat akses ke kabupaten lain terasa sangat jauh. Kota Waingapu sendiri berada di daerah kabupaten Sumba Timur. Salah satu keuntungan berada di kota ini adalah adanya bandar udara Umbu Mehang Kunda. Hal ini cukup memudahkan mobilitas antarpulau. Transportasi yang digunakan oleh masyarakat setempat adalah kendaraan bermotor pribadi. Untuk angkutan umum seperti angkot atau bus, armadanya sangat terbatas dan cenderung tidak terawat. Suaranya begitu bising dengan hiasan yang sangat ramai. Selain itu, rutenya juga kurang jelas.
Sekilas bandar udara Umbu Mehang Kunda
 Kondisi jembatan dan sungai dekat bandara
Terdapat perahu kecil parkir di tepian sungai
Tepat di jalan depan bandara, terdapat jembatan di atas sungai yang cukup lebar. Air sungai nampak berwarna hijau. Secara mengejutkan, sungai tersebut terlihat sangat indah. Di samping kanan kirinya banyak ditumbuhi pepohonan yang menambah rindang suasana. Arus sungai terlihat tenang yang kemungkinan menandakan kondisi sungai tersebut cukup dalam. Sesekali terdapat perahu kecil atau rakit terlihat mengarungi sungai. Konon katanya, kadang-kadang muncul buaya air tawar di wilayah sungai tersebut. Buaya-buaya tersebut bersembunyi di dalam air dan sesekali menampakkan diri. Sering kali anak-anak bubaran sekolah mampir untuk menyaksikan keindahan sungai atau sekadar bermain di jembatan bersama teman-temannya.
Jalanan dari dan ke bandara
Jalanan kota Waingapu sudah beraspal dan lumayan lebar. Di sepanjang jalan, saya sempat memperhatikan pemandangan di kanan kiri jalanan yang saya lalui. Terlihat kebun-kebun luas milik warga atau pemerintah setempat yang banyak ditumbuhi Pohon Kelapa memenuhi hampir sebagian besar pemandangan di luar mobil yang saya tumpangi bersama suami. Saya sempat mengira akan menemui sabana atau padang-padang rumput yang luas seperti bayangan pertama tentang Pulau Sumba. Namun, tak banyak yang bisa saya temui. Pemandangan seperti itu mungkin akan mulai terlihat di sekitar jalanan menuju pantai. Saya menjadi tidak sabar untuk mengenal lebih jauh tentang kota ini. Meskipun belum-belum, saya sudah mulai khawatir kulit saya akan menggelap dengan cepat mengingat teriknya kota ini di siang hari. Terlebih lagi, tidak akan dapat saya temui klinik-klinik perawatan kecantikan yang bagus seperti yang ada di Pulau Jawa atau Kalimantan.
Lahan-lahan kebun di dekat bandara
Destinasi pertama saya saat tiba di kota ini adalah sebuah warung makan tak jauh dari bandara dengan nama Warung Bakoel. Saya penasaran dengan cita rasa setempat meskipun sudah mendapatkan sedikit bocoran dari suami saya. Makanan di sini porsinya sangat besar, semacam porsi kuli atau bahkan lebih besar dari porsi nasi padang yang dibungkus. Banyak perantau mendadak menjadi gemuk lantaran akhirnya terbiasa makan dengan porsi yang digunakan oleh orang Waingapu. Karena merasa tidak terlalu lapar, saya cukup memesan capcay saja. Rasanya sedikit lebih asin dan porsinya tentu saja cukup besar sehingga banyak pula yang saya sisakan. Bila kalian memesan es jeruk, maka yang kemungkinan akan datang adalah es jeruk nipis atau terkadang malah es nutrisari. So please just kindly ask them first. Namun, es jeruk nipisnya lumayan manis dan rasanya sangat segar. Meskipun tentu saja masih ada cita rasa asam khas jeruk nipis.
ATM di sekitar saya
Orang-orang di sini kebanyakan adalah suku Sumba yang bahasa sehari-harinya mirip dengan bahasa Indonesia namun dengan aksen daerah Timur dan banyak menyingkat dalam penggunaan kata-katanya. Orang-orang di sini lumayan ramah dan suka sekali berpesta. Katanya, setiap kali menyelenggarakan pesta, mereka dapat bertahan sampai dengan pagi hari sambil berdansa dan menari. Kebanyakan orang sini merupakan nasabah bank BRI. Hampir di setiap papan tulisan ATM, isinya adalah ATM Bank BRI. Meskipun demikian, bank-bank lain juga ada cabangnya di sini seperti Bank Mandiri, Bank BNI, dan Bank NTT. Agama mayoritas penduduk lokal adalah agama kristen, sehingga banyak kami temui gereja-gereja besar di tengah kotanya. Meskipun demikian, di dekat kantor juga terdapat beberapa bangunan masjid dengan ukuran yang lumayan besar. Mencari makanan halal di sini juga sangat mudah meskipun pilihan warung makannya tidak banyak. Kebanyakan penjual warung makan di sini justru pendatang, misalnya adalah orang Jawa.
Masjid At Taqwa Kemalaputi
Salah satu gereja di pusat kota
Salah satu warung langganan, pemiliknya orang Jawa
Yang unik dari yang saya temui selama beberapa hari berada di Waingapu adalah penggunaan helm yang hanya diwajibkan pada pengemudi depannya saja. Penumpang belakang yang membonceng tidak masalah jika tidak memakai helm. Mereka sering kali menerobos lampu merah jika detik waktunya sudah  mencapai angka 5. Berbeda sekali saat berada di pulau lain yang biasanya harus menunggu sampai lampu hijau untuk bisa jalan. Lama-lama, kami jadi latah ikut-ikutan saat sedang terburu-buru.
Penumpang belakang tanpa helm
Keunikan lainnya adalah jika di daerah lain orang-orang sudah lama meninggalkan penggunaan bahan bakar minyak tanah dan beralih ke elpiji, lain ceritanya di Waingapu ini. Orang-orang masih menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar karena langkanya gas elpiji. Harga minyak tanah tergolong murah, yaitu empat ribu rupiah perliter sehingga tidak heran jika masyarakat masih menggunakannya sebagai bahan bakar sehari-hari. Inilah tantangan saya di era gas elpiji, saya masih harus memasak menggunakan kompor minyak. Tidak berat sebenarnya, saya hanya cukup mengulang kembali pengalaman saat dulu masih era minyak tanah.
Penampakan kompor minyak di rumah dinas
Satu jerigen minyak tanah yang dapat menampung 5 liter minyak
Rumah Sakit Kristen Lindimara
Saya dan suami tinggal di rumah dinas yang terletak di daerah Tandai Rotu dekat dengan Hotel Tanto dan Rumah Sakit Kristen Lindimara. Hotel Tanto ini mungkin dari depan terkesan kecil layaknya bangunan rumah minimalis. Namun jangan salah, hotel ini lumayan luas dengan tipe hook sehingga membuatnya mempunyai dua pintu gerbang. Kondisi rumah dinas kami lumayan bagus (jika dibandingkan dengan rumah dinas di Banjarmasin tentu saja because that's kinda the worst). Area rumah dinas kami terletak sedikit tersembunyi di belakang sekolah. Kompleksnya lumayan luas dan hanya terdapat lima bangunan rumah dengan masih menyisakan beberapa lahan kosong yang sering kali dijadikan tempat parkir mobil atau truk milik pegawai kantor. Kondisi air di rumah dinas lumayan lancar meskipun debit airnya terbilang kecil. Itu saja sudah menjadi hal yang cukup saya syukuri saat tiba di sini.
Halaman rumah dinas bonus foto dedek
Rumah dinasku, abaikan mas-mas berhelm merah
Kondisi sekitar rumah dinas
Hal lain yang saya pertanyakan saat tiba adalah letak pasar maupun supermarket. And don't ever expect something like Indomart, Alfamart, Giant, or even a Mall. Just don't. Di sini tidak ada Indomart, Alfamart, atau bahkan Mall. Untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari di kota ini, kalian dapat pergi ke beberapa swalayan atau minimarket lokal seperti Q Mart, Seven Mart, Lyon Nusantara, dan lain-lain. Barang-barang yang dijual pun kurang lengkap dan harganya sangat mahal jika dibandingkan dengan Pulau Jawa atau Kalimantan mengingat kebanyakan barang didatangkan dari luar pulau. Menurut pengamatan saya, Lyon Nusantara ini paling miring kalau soal harga meskipun secara stok kurang lengkap.
Salah satu minimarket dekat kantor
Malam hari pertama di Waingapu, saya dan suami serta rekan-rekan kantor diajak oleh kepala kantor untuk makan seafood di dekat pelabuhan. Kebetulan, kedatangan kami ini berbarengan dengan kunjungan salah satu pegawai dari KPPN Amlapura yang datang dalam rangka pembuatan inovasi. Memesan makanan di rumah makan yang ada di kota Waingapu ini harus dibekali dengan kesabaran yang ekstra karena proses masak dan penyajiannya memerlukan waktu yang cukup lama. Terkadang, makanannya sudah dalam keadaan sedikit dingin saat sudah dihidangkan. Menurut saya, seafood nya kurang berasa karena dibakar dalam keadaan segar dengan sedikit rempah saja. Di Waingapu ini, meskipun lokasi kotanya dekat dengan pelabuhan, harga ikan tetap saja mahal dan tidak mudah juga untuk mendapatkannya. Saya sendiri heran mengapa demikian. Mungkin ikan memang langka.
Kondisi Pelabuhan di malam hari
Menunggu makanan datang
Hari kedua di sini, saya langsung menyempatkan diri mengunjungi pasar tradisional yang terletak tak jauh dari kantor. Meskipun terkesan cukup luas, ternyata bahan-bahan kebutuhan sehari-hari yang dijual di sana terbilang kurang lengkap dan tentu saja sekali lagi, harganya sangat mahal. Saya sering kali harus banyak-banyak mengelus dada setiap kali bertanya harga bahan makanan. Sayuran dan bumbu dapur kebanyakan dijual dalam jumlah dan ukuran yang telah ditentukan. Misalnya saja kol putih, kalian harus membelinya dalam kondisi utuh seharga dua puluh lima ribu rupiah perbuahnya. Begitu pula dengan sawi hijau atau putih. Tidak peduli meskipun hanya butuh sedikit, kalian tetap harus membelinya utuh-utuh. Meski demikian ukurannya lumayan besar. Harga daging ayam di pasar sangat mahal. Untuk ayam broiler dipatok dengan harga sekitar 68.000/kilogram, sedangkan untuk ayam kampung sekitar 78.000/kilogram. Hal ini karena bibit ayam sengaja didatangkan dari luar pulau. Jika kalian naik pesawat Nam Air, berarti kalian sedang naik pesawat bersamaan dengan anak-anak ayam yang didatangkan dari luar pulau. Ohya jangan khawatir, harga daging ayam tersebut tidak jauh berbeda dengan harga daging sapi atau kambing. Ternak yang paling banyak dijumpai di sini memang ternak sapi atau kambing didukung dari keadaan geografis alamnya yang terdapat banyak padang rumput, sehingga tidak heran harganya jauh lebih murah dibandingkan di Jawa.
Pasar dekat bandara
Saya sempat menemui beberapa penjual asal Jawa yang terkadang masih bisa menjajakan dagangannya dengan ukuran sesuai kebutuhan pembeli. Misalnya saat membeli bumbu dapur. Di tempat lain, biasanya mereka sudah menakar ukurannya sedemikian rupa. Namun di penjual Jawa, saya masih bisa sekadar membeli setengah ukuran atau bahkan dengan spesifik menyebut jumlah. Entah saya yang terlalu peka atau bagaimana, saya merasa tipe rasa sayurannya sedikit berbeda dengan yang biasa saya temui. Sawi hijau terasa lebih pahit dan tomat khas Bima yang kurang cocok untuk dijadikan sambal.
Serangan hama belalang
Ohya saya sempat melihat hama belalang menyerang kota Waingapu pada awal bulan Juni lalu. Hal ini cukup bisa membuat saya melongo karena takjub dengan jumlah belalang yang datang. Kata orang-orang kantor, hal ini biasanya terjadi hampir tiap tahun di sini.
Patung kuda tak jauh dari taman kota
Kota Waingapu sendiri juga mempunyai taman kota layaknya kota-kota lain. Namun, kondisi taman kotanya bisa dibilang agak gersang karena tanamannya tidak banyak. Meskipun demikian, menurut suami saya kondisi sekarang sudah lebih mending dibandingkan dulu. Di dekat taman kotanya terdapat patung orang menunggangi kuda sebagai maskot dari kota ini. Sebenarnya, di jalanan kota juga masih sering kami jumpai orang-orang yang menaiki kudanya, terutama pada musim pertandingan balap kuda. Di siang hingga malam hari, banyak terdapat penjual makanan di area taman kota. Kami juga terkadang bisa membeli aneka buah-buahan.
Pemilik kuda
Sekilas gambaran taman dans sekitarnya
Awal di sini, saya agak takut dengan suara-suara anjing yang melolong setiap malam saut menyahut dari segala penjuru. Orang-orang di sini memang banyak sekali yang memelihara anjing. Namun lambat laun, saya mulai terbiasa. Saya memang belum bisa banyak bercerita mengenai hal-hal lain terutama terkait wisatanya karena setibanya di sini, saya dan suami sering kali sudah merasa lelah dengan aktivitas rutin sehari-hari sehingga belum menyempatkan diri untuk jalan-jalan. Terlebih lagi, saya sedang hamil muda. Kondisi saya tersebut tidak mengizinkan saya untuk jalan-jalan terlalu jauh mengendarai sepeda motor. Jika kondisi sudah memungkinkan, saya akan melanjutkan cerita tentang kota Waingapu di postingan-postingan saya berikutnya. Tunggu ya!


0 komentar:

Post a Comment