,

Tuhan Memang Hebat

Bila aku bisa mengintip mesin waktu, mungkin aku akan tertawa melihat raut mukaku dua bulan yang lalu.
Saat itu, aku dengan bodoh menangisi pilihanku sendiri di depan ibuku.
Seperti anak kecil yang salah memilih mainan di pasar malam.
Lalu minta ditukar namun tak dikabulkan. Kekanak-kanakan sekali.

Beberapa kali Tuhan mengujiku dengan mendaratkanku pada posisi yang tidak sungguh-sungguh ku inginkan, namun pada akhirnya berakhir dengan senyuman. Lantas lihat, apa reaksiku sebelumnya? Aku selalu saja menunduk lesu seakan menyalahkan diri sendiri yang tak cukup mampu meraih tempat pertama. Menunduk seperti orang yang baru sekali gagal lantas menyerah. Mirip mental orang buangan. Bukankah kegagalan itu kawan baik manusia. Tak mungkin juga kan kita selalu dimanjakan Tuhan dengan terus berhasil mendaki semua harapan-harapan kita. Lemah.

Bagian lucunya? Ya, aku justru selalu tertawa paling keras setelah menjalani takdir Tuhan tersebut. Tuhanku hebat sekali. Meskipun aku selalu saja tak pandai mensyukuri segala skenarionya, pada akhirnya aku selalu saja menemukan hikmah besar di balik tidak tercapainya inginku itu.

Ini bukan pertama kalinya terjadi. Ini sudah yang kesekian kalinya. Aku tak paham lagi mengapa sulit sekali mengajak diriku berdamai dengan kegagalan. Berdamai dengan kegagalan bukan hanya sekadar masalah menerima, namun lebih dalam lagi. Berusaha menarik hikmah yang lebih besar dari sekadar hanya memuaskan ego pada sebuah keinginan, bersyukur, bangkit, lalu menyegerakan diri beradaptasi dengan skenario Tuhan. Jika tidak, posisi jatuh kita akan kian dalam. Kian tak mampu meraih ranting terdekat yang mungkin masih tersedia di sana untuk mengangkat kita kembali ke atas. Memulai langkah baru, menuju tujuan yang sesungguhnya. Tujuan yang sejatinya telah Tuhan ukurkan dengan menimbang dari porsi terbaikmu sebagai manusia.

Aku memang belum sungguh-sungguh menemukan tanda silang akhir atas garis start yang baru saja ku injak itu. Namun, kabar gembiranya adalah aku akhirnya mengerti mengapa rencana kita tak pernah lebih baik dari skenario Tuhan kita. Aku mulai mengerti bahwa di setiap noktah perjalanan hidup kita, Tuhan sudah benar-benar mengukurnya dengan sangat adil. Tak ada satu detil kecilpun tertinggal, hingga seatom pun Tuhan perhitungkan. Mengapa masih takut hanya karena apa yang kita dapat bukan mewakili apa yang kita inginkan. Bukankah hal terpenting dari semua itu adalah kita mendapatkan apa yang kita benar-benar butuhkan. Bukankah selagi pilihan kedua itu masihlah hal yang baik. Bukankah aku sendirilah yang mengklik tombol pilih tersebut.

Kadang aku tersenyum mengingat bagaimana lucunya skenario Tuhan padaku.
Di tengah kerumunan manusia di stasiun Tanah Abang atau di tengah desakan-desakan penumpang di commuter line jurusan Serpong di kala sore hari, aku merenungkannya sesekali. Tuhan tak pernah salah.

Di saat langit ibukota mulai memamerkan senjanya yang dilahap tingginya gedung-gedung, aku merekam ulang ingatanku. Berkelana jauh ke dalam lamunanku hingga kereta jurusan Bogor tiba di jalur dua Stasiun Kemayoran. Lantas, aku menemukan diriku di sana, terlihat damai. Aku tak lagi risau seperti dua bulan yang lalu. Segala tantangan yang sedang menghadangku di depan, kadang-kadang justru berakhir hanya sebagai gurauan. Aku masih mampu bergurau dengan nasib.

Ibukota seakan bagai seorang mahaguru bagiku. Di tiap inchi jalanannya, di setiap sudut bangunan tuanya, di tengah kerumunan angkot yang sedang ngetem menunggu penumpang, di antara para pedagang asongan yang sedang sibuk menjajakan dagangannya, aku melihat mereka. Aku mencoba merasakan mereka, aku belajar dari mereka. Entah mengapa sisi bijak tiba-tiba saja iseng mampir ke otakku. Ya, aku bersyukur karena di antara riuhnya manusia-manusia jalanan itu, aku hanyalah penonton. Meski aku tahu dengan pasti di saat aku menonton bagaimana mereka melakukan peran mereka, Tuhan bisa saja tengah menyaksikanku sambil menertawai betapa kecilnya aku di sana yang berusaha terlihat besar.

Tuhanku, melalui isi ibukota ini tengah mengujiku dengan jarak, letih, rumit, dan cepatnya waktu berlalu. Bila aku tak di sini, sulit mungkin bagiku menghargai sebuah momen bersama keluargaku di kampung halaman.
Bila aku tak di sini, sulit mungkin bagiku mendapatkan hamparan ilmu di pusatnya Kementerian yang menaungiku kini. Hamparan ilmu yang jauh lebih hebat dibanding instansi di pekarangan depan yang sudah menceraikan diri dari kementerian itu.

Bila aku tak di sini, mana aku tahu bahwa pilihan Tuhan untukku ini ternyata luar biasa. Tak kalah dengan beberapa instansi yang sempat ku impikan sebagai tempatku bekerja.
Bila aku tak di sini, mana mungkin aku akan bertemu orang-orang hebat ini yang dari merekalah sejuta inspirasi itu kemudian datang. 
Bila aku tak di sini, bagaimana mungkin aku akan mendapat pengalaman melihat kerasnya ibukota seperti pada novel-novel atau cerita dari mulut ke mulut tersebut. Aku merasakannya langsung. Dan itu mendidikku.
Bila aku bukan di sini, mana mungkin kesempatan-kesempatan hebat di masa depan pada direktorat ini dapat ku bayangkan dengan rinci.
Bila aku tak di sini, mana aku tahu apa yang akan terjadi pada birokrasi kementerian ini ke depannya.

Tuhanku memang hebat. Di sinilah, di tempat yang sedari semula justru ku tangisi, aku akhirnya paham. Aku memang belum menemukan kejutanmu, Tuhan. Namun setidaknya walau masih kadang-kadang, sekarang aku bisa tertawa sendiri mengingat bagaimana aku begitu ingusan kala itu menangisi pilihan-Mu padaku.

Tempat ini hebat, Tuhanku pun jauh lebih hebat. And I just wanna say that I thank to You, God.

0 komentar:

Post a Comment