Source: http://time.com/5026886/twitter-verification-policy-richard-spencer-jason-kessler/ |
Sebenernya udah lama banget aku mau cerita soal ini. Tapi karena lagi di fase sangat malas menulis dan posting, jadi ya baru bisa ku tuangkan sekarang. Jadi, aku tuh dulunya termasuk anak yang telat mengenal gadget dan internet. Aku baru punya ponsel pas kelas 3 SMP dan itupun bukan beneran ponselku, melainkan punya orang tua. Aku masih inget dulu tuh pakai ponsel Siemens yang ada antenanya itu. Zaman teman-temanku udah pada pakai jenis monophonic yang lebih modern, polyphonic hingga pakai symbian, aku masih setia memakai monophonic jadul berantena itu. Bukan apa-apa, kebetulan bapak dapet gratis dari teman beliau. Iya, kami memang belum mampu membeli ponsel saat itu. Jadi, kalau kalian udah pada melek ponsel sedari piyik atau mungkin jauh lebih awal daripada aku, I think we can't relate. Nah, persis kayak gini nih ponselku dulu. Aku pakai yang warna biru donker.
Source: https://ublik.id/apa-kabar-5-ponsel-sepuh-yang-dulu-sempat-berjaya/ |
Terus apa hubungannya dong sama judul di atas? Di sinilah awal mulanya. Aku nggak punya komputer atau ponsel. Modal kenal benda-benda ini ya dari pelajaran TI di sekolah dan itupun sangat tidak maksimal karena cuma satu kali pertemuan tiap minggu. Aku masih inget tuh dulu belajar hal-hal basic macam Lotus 123 dan Microsoft Office aja aku udah merasa kesulitan. Aku masih inget juga tuh pas aku disuruh mewakili sekolah untuk Lomba Siswa-Siswi Teladan Tingkat SMP, aku harus minta tolong tetanggaku untuk mengajariku Microsoft Word. Sebasic itu dulu pengetahuanku. Lalu berlanjut saat aku masuk SMA, di sinilah pertama kalinya aku kenal internet. Aku juga sama kayak yang lain, pernah punya alamat email yang susah dieja. Salah satunya adalah honey_beehutch@yahoo.co.id. Udah belibet belum bacanya? Ini adalah cikal bakal akun sosial mediaku selanjutnya. Nah, yang menarik adalah walaupun dulu orang-orang di sekolahku rata-rata udah pada punya friendster atau akun sosial media lain, akun yang pertama ku buat dengan email itu justru adalah blog. Why? Salah satunya karena aku penasaran sama blog setelah membaca buku saku pemberian guruku saat SMP. Melanjutkan tentang ponsel, aku akhirnya punya ponsel symbian saat duduk di bangku kelas XI, hadiah dari bapak atas prestasiku menjadi juara 1 umum di SMA. Hal inilah yang justru menuntunku pada social media addict sampai dengan sekarang.
Baca juga: Belajar Menulis dengan Baik #1
Nah, sejak perkenalanku dengan ponsel dan internet itu, aku akhirnya membuat aneka akun sosial media seperti friendster, myspace, plurk, facebook, dan twitter. Padahal, awalnya aku tuh cuma penasaran doang gimana cara mainnya, bukan yang pengen mantengin banget. Friendsterku cuma bertahan setahun, setelah itu aku sangat maniak sama facebook. Hasil kecanduanku pada facebook ini adalah aku sempat turun peringkat juara umum saat kelas XII SMA. Wali kelasku menilai penurunan peringkat ini karena aku terlalu sibuk mengikuti aneka kegiatan ekstrakurikuler, beliau tidak tahu saja bahwa anak didiknya ini mulai kecanduan sosial media. Jangan tanya lagi gimana model kecanduanku. Setiap saat aku mantengin layar ponsel. Nggak di kelas, nggak di rumah, nggak dimana saja. Kalau kalian ingat lagunya Saykoji yang judulnya Online itu, nah kayak di video clipnya itu tuh diriku saat itu.
Aku juga pernah berada pada fase sangat alay di sosial media, kalau ini sih kayaknya sampai sekarang juga belum beneran ilang. Haha. Nah, oleh sebab itu aku tuh berencana mau menghapus akun facebook terus bikin baru gitu hanya agar menghilangkan jejak kealayan masa lalu. Tapi berhubung suami melarangku untuk menghapusnya, ku urungkan niatku. Katanya beliau mau membantuku merapikan feed jadi yaudah deh ku terima dengan senang hati sarannya. Aku sudah lelah scrolling feed facebook sampai ke jaman jadul hanya untuk menghapus satu per satu status atau kiriman foto atau apapun yang nangkring di berandaku. Geli-geli gimana gitu bacanya tuh. Kayak nggak percaya pernah nulis hal-hal kayak gitu dengan model tulisan yang nggak kalah bikin mata sakit. Nggak peduli aku sama anggapan itu kan buat kenang-kenangan pernah alay, itu kan sejarah. Halah aku lelah mbak, mas baca tulisan-tulisanku sendiri. Nggak sayang aku tuh sama kenangan alay masa lalu gitu. Blog lamaku aja aku hapus begitu saja tanpa menyisakan sesal. Ya demi memuaskan sikap perfeksionisku yang maunya apa-apa serba tertata. My soul needs to be statisfied.
Aku sekarang lagi belajar menata satu persatu sosial mediaku. Aku udah banyak mengubah settingan di facebook ku agar lebih privat. Twitter udah ku rename dan ku protect sedemikian rupa demi bisa nyampah tanpa perlu khawatir handai taulan yang tidak diinginkan kepo-kepo manja, instagram juga ku gembok akunnya karena aku masih overshare soal anak, dan lain-lain. Intinya aku berusaha melindungi identitas dan kenyamananku di sosial media selama aku belum sembuh dari kecanduan ini. Sementara baru ini yang bisa ku lakukan.
Salah satu alasan kenapa aku kecanduan sosial media adalah karena aku sangat tidak suka curhat ke orang. Aku bisa nyampah banyak hal ke twitter atau facebook kala itu dan sekarang. Hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ku tuangkan ke platform sosial media apapun. Sejak punya suami, aku jadi punya seorang teman yang benar-benar mengerti kebiasaanku ini. Suamiku adalah definisi sebaik-baiknya pendengar. Meski begitu, hal tersebut tidak membuatku lantas sembuh dari kecanduan pada sosial media. Apalagi sejak kenal instagram berikut aneka akun di dalamnya yang sering membuatku harus menengoknya. Buntut kecanduan ini salah satunya adalah aku merasa tidak pernah puas dengan apapun yang ku punya. Aku selalu ingin lebih. Aku selalu merasa kekurangan padahal semua hal yang ku butuhkan sudah ku genggam. Aku jadi mudah murung, moody-an bahkan emosian. Aku juga jadi merasa berhak menilai siapapun yang ku ketahui melalui sosial medianya. Padahal kan, who we are to judge?
Aku bahkan pernah berada pada fase kayak mempertanyakan perasaanku sendiri, apakah aku bahagia? Apakah aku sedang berada di posisi yang benar-benar ku inginkan? Kalau kata suamiku, seharusnya sosial media ini nggak usah dimasukin hati. Karena apapun yang ditampilkan di situ, sudah melalui penyaringan dan sarat dengan pencitraan. Lalu aku berkaca pada diriku sendiri, dan ya memang benar begitu. Aku nggak akan bahas mengenai dampak-dampak buruk sosial media terkait hate speech, hoax dan lain sebagainya yang sedang sangat meresahkan. Itu bukan hal yang menarik perhatianku kali ini, mungkin lain kali aku akan memberi opini. Aku juga paham kok kalau sosial media nggak selalu berdampak buruk, malah justru sebenarnya lebih banyak manfaatnya ketimbang keburukannya seandainya kita tahu dan bijak memakainya. Tapi ya apalah aku ini, bukan seorang pengguna yang bijak dan masih sering baperan.
Baca juga: I Should Stop This Insanity
Aku tuh jadi gampang banget stres sejak kecanduan sosial media ini. Padahal kan harusnya aku terhibur ya bukan malah stres. Tapi begitulah kenyataannya. Aku bisa berjam-jam cuma mantengin layar ponsel, jadi manusia yang sangat tidak produktif. Aku jadi semakin tidak suka dengan kegiatan bersosialisasi dengan sekitar. Semacam magerannya makin bertambah. Sekarang tuh ya, kayak hampir nggak ada platform sosial media yang nggak ku jadikan tempat curhat dan update. Biar apasih? Biar dapet pengakuan atau validasi dari orang lain? Enggak kok, asli bukan karena itu. Sebenarnya lebih karena aku tuh anaknya overshare. Aku nggak punya teman di lingkunganku sekarang untuk sekadar menjadi rekan ngrumpi-ngrumpi gitu. Temanku ya cuma anak dan suami. Jadi kasarannya kayak kesepian gitu. Bukan karena aku kesepian cuma bertiga dengan mereka. Bukan. Kan ku bilang, kayak kesepian tapi nggak butuh diramein juga, gimana ya susah menjelaskannya. Karena aku juga anaknya soliter, dan hiburanku adalah sosial mediaku, begitu kira-kira. Bingung ya? Sama. Intinya aku dan kesoliteranku ini masih sangat bergantung pada keberadaan sosial media. Terlebih di sini tuh nggak ada apa-apa, teman-teman. Nggak ada tempat buat family time secara proper yang bisa membuatku sejenak melupakan ponselku. Di sini nggak ada hiburan memadai kayak di kota-kota besar gitu. Makanya, aku makin kecanduan begini.
Aku sudah berusaha menguranginya dengan membatasi durasi bermain sosial media dalam sehari. Efektifkah? Sejauh ini belum terlalu signifikan karena ya seringnya aku melanggar batasan waktu yang ku bikin sendiri. We will see it later, nanti aku bakal ceritain kalau aku udah beneran terlepas dari kecanduan sosial media ini. Aku merasa komitmenku ini bukan cuma buat kewarasanku saja, tetapi juga buat anak dan suamiku. Doakan aku ya.
0 komentar:
Post a Comment