Mungkin itu Rumahmu

Rumah itu tidak begitu jauh dari tempatku berdiam, bahkan memang sungguh tidak jauh sama sekali. Rumah itu tak pernah berpindah, masih bertahan di sana dan akan selalu begitu, ku rasa. Rumah itu biasa saja, sama seperti kebanyakan bangunan rumah di daerahku. Rumah itu terletak di sebuah tempat tak jauh dari desaku. Bahkan, kini pun terasa kian dekat berkat kemampuan bermotorku yang meningkat. Namun, rumah itu masih termangu saja di sana, menantangku untuk sekadar melihat. Bukan, bukan aku yang bersandiwara seberani itu untuk berangan, jangan salah mengira. Aku pun tak pernah berpikir akan menandainya sebagai hal istimewa. Sering kali aku heran, bahkan terkadang masih sempat ku ulum senyum lebar setiap kali menghubungkan rentetan kejadian demi kejadian tentang rumah itu yang ku artikan sendiri seolah memiliki benang merah denganku ini, denganmu pun kemudian. Lalu, lihatlah. Di sinilah aku pada akhirnya akan mulai menceritakannya kepadamu. Bukan kepadamu, kamu. Namun, kepadamu, diriku. Dan hei, percayalah, semua ini sungguh menarik.

Kau masih ingat beberapa tahun yang lalu adikmu sering menyebut nama sebuah tempat yang terasa asing, lucu, aneh atau bahkan absurd kedengarannya bagimu itu, bukan. Kau selalu saja mengangkat salah satu alismu tanda heran dan mungkin juga lantaran sebuah alasan atas ketidaktahuanmu sendiri tiap nama tempat itu disebut. Ah, macam tak ada nama lain saja untuk menamai sebuah tempat. Mengapa harus begitu dan seperti itu, gumammu dulu. Katanya kemudian saat melihatmu bergeleng tanda bingung, tempat itu jauh jika kau hanya menempuhnya dengan sepeda bututmu yang berwarna biru muda itu, lengkap dengan keranjang bekas yang menempel di depan kemudi stang dan bangku penumpang yang (begitu) keras hasil kreasi ayahmu saat kau membutuhkannya untuk bersekolah di sebuah SMP negeri terfavorit di daerahmu beberapa tahun silam. Katanya untuk ke tempat tersebut, jika kau hendak menghemat waktu tempuh, lewatlah jembatan penghubung dua dusun yang demikian tersembunyi sebelah utara desamu atau di dekat tetangga desamu itu. Namun, katanya selanjutnya, hal tersebut mungkin akan sedikit riskan lantaran jurang di samping kanan-kiri jembatan cukup curam, serta lebar jembatan yang terbilang sangat sempit, bahkan untuk dilalui sebuah sepeda pun. Saat itu, kau hanya manggut-manggut saja mendengar penuturan adik kecilmu yang sangat bersemangat seakan merasa telah berhasil mencapai tempat terpencil laksana rimba petualangan kecilnya itu. Sekedip saja kau mengingat nama tempat itu. Ya. Tepatnya hanya sekedip saja.

Kau tak tahu, bukan? Sekedip itu akan berarti banyak dan panjang untuk diuraikan. Bahwa kelak di kemudian hari kau akan dibuat terkejut kembali karena pemilik rumah itu, atau mungkin cerita dibalik pemiliknya itu, menjadi sedemikian tak asing lagi untuk diputar ulang di kepalamu. Hampir setiap hari kau mulai perlahan mengajari dirimu untuk mengagumi tempat itu. Bukan tempat itu, mungkin sesuatu di tempat itu, atau mungkin seseorang di dalamnya. Iya, entahlah. Kau bahkan masih tak bersedia menjawabnya dengan jujur, bukan?

Kau menjadi sedemikian antusias menyimak siapapun yang sengaja atau tak sengaja bertutur tentang tempat itu, seakan kau sungguh membutuhkan informasi tersebut. Kau pun mulai menertawai kekonyolanmu, bisa begitu berbinar atau mungkin hei, kau mulai memuja nama sebuah tempat kah, oh bukan nama tempatnya, mungkinkah itu karena ada hubungannya dengan nama seseorang yang kau kenal. Entahlah, tak tahu, katamu. Benarkah menjadi begitu istimewa atau hanya sekadar menarik saja? Kali ini kau akan lebih sering menjawabnya dengan sebuah senyuman, bonus rona merah delima di kedua pipimu. Ah, waktu memang sering membuat kita tanpa sadar tenggelam sesaat manakala mengecap kejutan-kejutan peristiwa berbungkus perasaan bahagia atau rangkaian momen-momen manis karenanya.

Masih ingatkah kau bahwa dulu kau lebih sering menghindar dari kenyataan di kepalamu. Menurutmu, itu sama sekali tak istimewa, padahal dalam hati, kau selalu bersorak riang menyambut kabar apapun tentang tempat itu. Tentang dimana letak pastinya, jauh tidak sih dari tempatmu duduk kini, atau kapan bisa kesana, atau mungkin kapan tanpa sengaja bertandang kesana untuk mengobati rasa ingin tahumu tentang pelbagai citraan mengenai morfologi rumah tersebut. Bukankah kau sendiri yakin bahwa rumah itu pasti tak akan begitu berbeda dari rumahmu sendiri. Lalu apa iya, sesuatu bisa kau anggap istimewa jika hanya berwujud sebagai kebanyakan tanpa ada nilai tambah di dalamnya. Kau pasti sudah punya alasanmu sendiri.

Takdir memang lucu. Ia mengemaskan cerita terbaiknya untuk dipersembahkan kepada jalan hidupmu saat itu. Mungkin saja itu bukan hal yang awalnya kau inginkan. Mungkin juga, kau tak akan pernah menyangka bahwa tempat yang sering kali kau abaikan lantaran keanehan fonologi, sintaksis ataupun morfologi pada bahasa penamaannya itu pernah menjelma menjadi judul sebuah tulisan di kepalamu sendiri. Bahkan, kau pernah sangat ingin menggambarnya untuk diabadikan dalam kenanganmu. Lalu, bagaimana caramu nanti menjelaskan keanehan perlakuanmu tersebut terhadap sebuah rumah dengan kenangan yang tak pernah atau belum pernah menjadi milikmu, namun sungguh-sungguh ada di rantai memorimu. Kini pun, di malam yang biasa-biasa saja dengan ribuan bintang gemintang di luar sana yang tengah lelap dalam tidurnya, rumah itu juga sedang dipayungi langit malam yang sama dengan apa yang didapat oleh rumahmu sendiri. Di malam yang biasa ini pula, tanpa angin malam istimewa, tanpa kabut pekat biasanya, tanpa rintik hujan pergantian musim di bulan Maret, serta tanpa puisi pujangga, kau akhirnya menuliskannya. Benarkah ini untuk dia, atau mungkin untuk dirimu sendiri yang masih tak mengerti. 

Mungkin kapan-kapan akan kau beritahu siapa pemilik rumah itu. Mungkin juga kelak kau justru akan melupakan keberadaan rumah asing itu. Satu hal yang sangat ingin kau pahami adalah kau sudah cukup merasa bahagia mengetahuinya ada dan berarti. Dan, mungkin saja itu adalah rumahmu.

0 komentar:

Post a Comment