Bersabarlah, Bapak dan Ibuku


Tak terasa usia kembar 22 tengah berjalan mendekatiku, lebih tepatnya mungkin masih butuh perjalanan waktu tujuh bulan kemudian. Untuk ukuran makhluk Tuhan bernama manusia, usiaku tersebut mungkin masih tergolong belia, meski bukan juga sebelia remaja. Selama itu, entah sudah berapa ton gas oksigen yang ku hirup dari udara lantas ku hempaskan pula sebagai gas asam arang yang membebani atmosfer, serta berapa liter kubik air bersiklus dalam tubuhku. Tak terasa juga, entah berapa ribu langkah kakiku mondar-mandir menapaki jalanan kehidupan, hingga menghasilkan diriku yang sekarang, diriku hari ini, pun diriku di detik ini dengan nafas dan denyut nadi yang masih setia menemani.

Aku memang tak pernah sempat menghitung kebaikan Tuhan yang dilimpahkan kepada secuil jiwaku ini, sebagai seorang wanita, seorang manusia biasa bukan malaikat, dan seorang hamba. Seharusnya aku mampu bersyukur atas pencapaian-pencapaian kecilku selama ini. Namun, apa boleh buat, akhir-akhir ini malah aku sedang (lebih) sering betingkah. Aku mungkin memang tidak sampai memaki suratan, aku hanya seperti sedang kesulitan menemukan cara bersyukur. Ya, mungkin salah satu penyebabnya adalah menyandang predikat pengangguran terselubung selama kurun waktu tiga bulan ini. Ya, padahal hanya tiga bulan saja. Entah berapa kali gundah menyerangku dengan pertanyaan, “Kapan ya kira-kira penempatannya”. Uh, betapa.

Aku mungkin hanya sedang kekurangan kegiatan. Lebih tepatnya, bosan. Andai saja aku bisa sedikit lebih santai, tenang, dan sabar. Bukankah seharusnya tiga bulan terakhir ini bisa menjadi quality time yang menyenangkan bersama keluarga dan kawan. Nampaknya, aku malah memilih untuk meratapi nasib. Predikat anak sulung bukankah tak serta-merta melulu berkisah tentang tanggung jawab. Ada kalanya kehidupan memberikan jedanya kepadamu agar bisa menunjukkan peranmu yang lain kepada sekitarmu. Atau sekadar masa rehat dari segala kecamuk di kepalamu akhir-akhir ini.

Sembari bermalas-malasan di rumah, sering kali aku menggoda adik bungsuku hingga ia menyerah lantas mengadukan kejahilanku pada ibu, atau mengganggu ibu menonton tivi lantaran aku bosan dengan selera tontonannya yang hanya menyajikan joged-jogedan pesohor negeri tanpa bisa ku cerna saripati acaranya. Jika sudah mulai ditanyai perihal penempatan kerja, aku hanya bisa menghibur ibuku dengan iseng-iseng mendaftar magang di beberapa tempat untuk mengisi masa penantian. Namun, lagi-lagi selalu terhenti di tahapan interviu lantaran aku tak bersedia memenuhi komitmen kontrak kerja. Lantas kemudian, ku ulangi lagi kegiatanku bermalas-malasan hingga kapan-kapan nuraniku tergerak melakukan sesuatu yang bermanfaat. Itupun sering kali aku merasa lelah. Ah, bahkan pemalas pun masih boleh berkeluh lelah dan betingkah. Siapalah aku ini di rumahku sendiri. 

Aku sering mendengar bunyi kata-kata bijak yang sedikitnya membuatku tertohok. Bunyinya kurang lebih begini, “Jika kau tidak bisa memberikan manfaat, setidaknya jangan menyusahkan”. Semoga tiga bulan ini, anakmu ini tidak menyusahkan kalian di rumah ya, wahai bapak ibuku tercinta. Aku selalu sayang pada kalian bagaimanapun wujud sikapku dalam menanggapi teguran kalian saat aku sedang berpolah tingkah jungkir balik kesana kemari. Meski mungkin caraku bersikap akhir-akhir ini sedikit berbeda dengan cara-cara yang biasa ditunjukkan anak berbakti di sinetron-sinetron yang sering kalian tonton, aku tetap selalu sayang pada kalian dengan caraku sendiri. Anakmu ini mungkin memang bukan gadis manis penyabar nan lembut, mungkin ia lebih mirip kancil. Namun, bersabar dan percayalah, aku pun sedang berusaha menjadi anak kebanggaan kalian.

0 komentar:

Post a Comment