Aku Sangat Rindu

Aku rindu caramu mengenalkanku huruf demi huruf dalam barisan alfabet kepadaku
Aku pun rindu berteriak semangat ketika huruf S disodorkan kepadaku karena aku pasti akan berkata “S marakke sakit”

Aku rindu bagaimana kau bisa begitu sabar mencernakan huruf demi huruf hingga aku mengerti apa itu kata, apa itu kalimat, dan apa itu prosa
Sesekali aku memutar memoriku beberapa tahun ke belakang
Lalu, aku menemukan wajah teduhmu di hadapanku

Aku masih ingat
Bagaimana lucunya kau saat mengajariku lagu-lagu daerah tiap kau pulang ke rumah, bahkan mempraktikkan gerakannya hingga aku dan Riza tertawa kegelian

Aku masih ingat
Kau selalu mendongengiku sebelum aku beranjak ke mimpiku, mengizinkanku duduk lama-lama di pangkuanmu
Betapa beruntungnya aku, dongeng-dongeng masa kecilku itu tak lagi didapat oleh anak-anak masa kini


Ohya, aku masih ingat sekali
Setiap perayaan Saparan di daerah kita, kau selalu mengajakku dan Riza ke pasar malam, sekadar membeli arum manis, menaiki komidi putar, atau membelikanku mainan kapal-kapalan berbahan bakar api
Aku dan Riza akan berlomba memilih komidi mana yang akan kami naiki. Ya, aku memang selalu memilih kuda, sama seperti Riza yang selalu memilih menaiki mobil

Aku pun selalu merajuk agar kapal-kapalan milikku tak kau lajukan di kolam lele rumah kita, aku takut kapalku tenggelam, dan aku pun pasti akan menangis jika demikian
Aku masih ingat setiap kau pulang dari tempatmu mencari nafkah, kau selalu membawakanku oleh-oleh mainan. Entah itu boneka Pooh kesukaanku atau mobil-mobilan dengan remot sebagai penggeraknya untuk si kecil Riza

Dan kami akan sangat gembira menyambutnya di pintu rumah. Bahkan, jika aku dan Riza sudah tertidur saat kau datang, kami pun pasti sangat rela dibangunkan.
Aku selalu tertawa mengingat kejadian lucu saat kau membelikanku boneka yang bisa bicara, aku justru menangis dan ketakutan tak mau memainkannya. Sungguh, bagiku boneka itu mengerikan sekali. Selayaknya melihat Anabelle masa kini jika dapat ku gambarkan. Ah, seandainya masih ku abadikan wujudnya. Mungkin kau juga akan mengakui bahwa itu cukup menyeramkan untuk bocah berusia 5 tahun.

Aku senang sekali setiap dulu kau mengajakku berkunjung ke beberapa rumah kerabat dimana mereka pun memiliki anak sebaya denganku. Banyak sekali kenalanku waktu itu. Selayaknya anak kecil, mudah sekali kami berbaur.
Betapa bahagianya aku kala itu,
Di saat anak-anak seusiaku tak mengenal sepeda, kau membelikanku si Pink roda dua dengan keranjang putihnya itu, gres dari Toko
Aku rindu sekali
Pada caramu mengajariku menaiki sepeda baruku itu dengan menggunakan roda bantu hingga aku bahkan bisa sangat lincah menaikinya kemudian
Tak ada anak lain sebayaku di sekitar kita kala itu yang semahir diriku dalam bersepeda
Ya, tak lain hal itu karena kaulah pelatihnya.

Aku merindukannya, masa-masa itu
Saat setiap kau bawa truk juraganmu ke rumah, kau selalu mengajakku dan Riza berkeliling sembari memandikan truk tersebut di Pemandian Jolotunda.
Betapa menyenangkannya, mengingat aku dan Riza sangat doyan bermain air, terlebih lagi karena kau tak pernah mengizinkan kami bermain di sungai. Kau akan sangat galak jika kami melanggar pantangan itu.
Ingatkah kau pernah kecewa lantaran aku mengikuti fashion show anak-anak dalam acara perayaan malam 17-an di desa kita. Kau tak suka aku didandani macam bintang kecil, berbaju mini, bermahkota bunga kamboja. Oh betapa, banyak yang justru memuji penampilanku dan kawan-kawan yang terpilih di malam itu. Namun, tidak untukmu. Kau justru sangat marah.

Kau selalu punya cara-cara manis untuk membuatku merasa dimanjakan.
Kau mengajariku bermain catur, karambol, dan dam-daman. Semua permainan itu bahkan secara khusus kau buatkan alatnya untukku agar aku tak perlu bermain jauh-jauh dari rumah
Kau suka sekali memelihara binatang. Mulai dari ayam, kelinci, kambing, lele, burung dara, hingga sapi. Semua ada di rumah samping lengkap dengan kandangnya.
Bagian yang ku suka dari semua itu adalah, saat kau menyembelihkan ayam atau kelinci untuk lauk. Oh, maafkan diriku yang tak begitu suka binatang hingga hanya di bagian inilah yang ku suka dan ku tunggu-tunggu.

Aku juga sangat geli mengingat bagaimana kau menegur kebiasaan burukku yang masih suka mengompol dan minum memakai botol bayi hingga aku masuk bangku sekolah.
Ah, untung saja tak banyak yang tahu.

Ohya, tahukah kau, dulu aku sering merasa takut berbuat salah karena kau akan sangat murka jika salahku berlebihan. Kau tak suka kotor, kau tak suka pemalas, kau tak suka membiarkanku keasikan bermain hingga mencapai ladang-ladang atau sawah-sawah bahkan sungai-sungai yang jauh dari rumah. Terlebih, Riza pasti akan turut serta.
Kau suka sekali berlebihan terhadap hobi. Pernah saat musim angin, dimana anak-anak di desa sedang senangnya memainkan layang-layang, kau membuatkan kami beberapa macam layangan besar-besar lengkap dengan sendarennya. Ibu sering kali ngomel-ngomel kalau sudah begini.

Aku sangat ingat
Berkebalikan, betapa bangganya dirimu saat mengetahui aku selalu menduduki peringkat pertama di kelasku di saat banyak yang menyangsikan kebiasaanku bangun pagi dengan sangat terlambat. Ya, aku memang bukan tipikal anak yang bisa diatur-atur atau diceramah-ceramahi agar mengerti. Aku memang harus dibiarkan mengerti sendiri, dengan caraku sendiri.
Beberapa tahun aku menjadi gadis manis yang penurut. Mungkin tanpa ku sadari kebahagiaan-kebahagiaanku itu tak didapat oleh semua gadis kecil. Namun, nampaknya aku pun tak sadar bahwa hal-hal manis tersebut adalah salah satu definisi bahagia.
Ah, aku rindu. Aku rindu sekali. Andai saja kau masih seperti itu. Mungkin usia membuatmu berubah dalam menyikapi kehidupan di sekitarmu. Pun keberadaanku. Roda kehidupan memang terkadang tak selalu terhenti di titik bahagia. Ujian, cobaan dan musibah senantiasa membentuk kita. Namun, semoga hal-hal tersebut tak pernah mematikan jalinan di antara kita.

Terakhir yang ku ingat, kau dengan begitu sabar mengantarku pertama kalinya ke Jakarta, kota perantauanku selama tiga tahun terakhir ini. Kau juga yang dengan tabah
membawakan bawaanku yang tak sedikit itu hingga mendarat dengan selamat di kamar kosanku.
Saat letih menyerangmu, kau hanya bisa terkapar di lantai lalu tertidur hingga siang. Aku tak tega membangunkanmu agar pindah tempat. Saat usai bertegur sapa dengan para orang tua anak kos yang lain, kau sempat memberiku wejangan. “Ndug, kamu jangan minder ya di sini. Mereka mungkin berasal dari keluarga yang lebih mapan darimu, tetapi kamu nggak boleh minder. Jangan malas-malas di kosan, yang rajin biar bisa mengikuti kuliah dengan baik.” Aku hanya bisa menjawab iya kala itu. Baru ku sadari, kaulah yang sebenarnya minder. Kau hanya takut aku berkecil hati, padahal sedikitpun aku tak pernah malu pada apapun profesimu selama ini, asal itu halal.

Aku ingat sekali, saat kau hendak berpamitan pergi pada hari itu juga, kau menolak untuk ku antar hingga jalan raya. Padahal ingin sekali aku melihatmu berlalu, sekadar memastikan aku mengantarmu dengan pantas sebagai seorang anak yang diantar hingga tempat tujuan. Ah, nampaknya kala itu kau lebih menginginkanku beristirahat saja di kosan. Dan, meninggalkanku sendirian di tempat asing itu.
Betapa sesungguhnya banyak hal mengesankan yang terlalui. Meski kini segalanya tak lagi sama, jujur ku akui.
Aku sangat merindukanmu, ayah.

0 komentar:

Post a Comment