Aku selalu berlari. Aku suka berlari. Aku berlari berangkat ke sekolah. Aku senang berlari menerobos hujan, seperti selendang menembus tirai air berlapis-lapis. Aku tak pernah lelah berlari.... -Sang Pemimpi
Kita semua tentu pernah mengalami jatuh-bangun dalam hidup. Entah itu dalam kemasan yang kecil dan sederhana-- tidak begitu terasa, hingga bahkan yang begitu nyata menganga, seperti halnya roller coaster yang mencapai turunan terendahnya, sampai kita merasa tak lagi mampu untuk menerawang kata bangkit di rantai memori kita. Pastilah di antara kita pernah mengalami salah satunya atau bahkan keduanya sekaligus. Lalu, apa yang pernah kita putuskan saat itu? Kita memilih menghadapinya atau memasrahkannya saja pada apa kata takdir? Atau parahnya, kita justru berlari menjauh, memilih bersembunyi?
Simpan dulu jawaban pertanyaanku ini. Bisa kalian renungkan kapan-kapan. Dalam pelbagai hal, aku memang tak pandai bercerita, menjelaskan detail-detail keadaan dengan sesempurna mungkin hingga kalian memahami substansi dari ceritaku, bahkan jikalau aku pelaku utamanya sekalipun. Bukan bakatku di bidang ini untuk bertutur dengan baik, pun sekadar bertanya sesuatu. Aku sungguh tak berbakat. Jika memang aku pernah mengalami fase-fase berat bernama jatuh-bangun hidup, apapun itu kemasannya, sungguh aku tak dapat mengingat detail menyedihkannya, mengharukannya, menyenangkannya atau detail dimana aku tersadar dan mengambil hikmah. Sungguh keterlaluan, aku seperti selalu mengabaikan semua momentum dalam hidupku entah itu pait atau manis. Semua seperti terasa sama saja, kuanggap sebagai hal yang wajar saja terjadi pada setiap individu. Lalu kategori yang mana aku? Pasrah atau takut dan bersembunyi? Aku bahkan tak tahu apa yang sedang aku hadapi.
Bukan. Bukan aku tak peduli, aku tak merasa atau bahkan aku tak mengerti. Aku mengerti dan peduli lebih dari siapapun jika semua itu ada benang merahnya denganku, dengan hidupku. Aku merasakannya bahkan hingga di tiap partikel cerita yang menjadikanku salah satu pemerannya, entah peran utama atau sekadar cameo saja. Aku benar-benar melibatkan semua gejolak dalam diriku. Lantas, apa semua hal itu dapat serta-merta memaksaku untuk selalu terlihat peduli, merasa atau mengerti? Aku memilih menjawab tidak. Bentuk keterlihatan itu justru seperti sebuah reaksi diri yang memberikan efek visual sebagai pribadi yang lemah. Dan, aku tak suka anggapan seperti itu. Entah memang seharusnya demikian atau tidak, terus terang aku tak suka dan memilih jawaban tidak. Tidak untuk terlihat demikian. Terlihat lemah.
Aku lebih sering mengabaikan hal-hal yang mempunyai potensi untuk melibatkan bagian krusial dari seorang aku, sesuatu bernama perasaan. Aku takut sekali bermain-main dengan hal-hal semacam itu. Aku akui, aku sangat pengecut untuk satu hal itu. Mengapa? Itu karena aku masih tak tahu apa obatnya jika aku sampai terlibat terlalu dalam dengan bagian diriku yang satu itu. Ketika ada rangsangan dari luar, aku memilih tidak peka. Iritabilitaku seperti terkontrol secara otomatis. Entah oleh perintah hati atau otakku. Keduanya seperti bersepakat. Aku sering kali memilih berlari. Menjauhkan diriku dari semua hal yang bisa saja memaksaku melibatkan bagian diriku yang ku sebut sebagai perasaan tadi. Aku memilih menjadi seorang pelari. Sebisa mungkin aku akan menghindar dan membawa serta diriku jauh-jauh. Hingga efeknya hilang. Aku akan berlari. Sekencang mungkin sama seperti yang kulakukan saat mengikuti Lomba Maraton Olimpiade Anggaran. Aku akan ringan berlari sama persis saat Mas Ingga menempa kami sebelum berangkat OPTK. Aku memilih untuk tetap berlari. Lari dari kenyataan.
Aku pengecut? Mungkin. Tapi aku bisa membela diri dengan mengatakan "Mungkin banyak orang yang bisa mengendalikan emosinya dengan berbagai cara, tetapi tak semua orang berbakat mengendalikan perasaannya sendiri. Kenapa? Karena perasaan itu terkadang tersembunyi. Kamu mengatakan iyaa, bisa jadi jawabannya sesungguhnya tidak. Begitu sebaliknya" Jika seseorang dengan mudah mengendalikan perasaannya, tentu saja ia akan terbiasa untuk tidak membebani dirinya dengan kemauan yang bermacam-macam. Ia akan lebih mudah menerima. Aku memilih berlari sejak aku mengenal apa itu sedih dan kecewa. Aku tahu semua awal yang jauh dari kata menyenangkan itu tak mungkin ku ceritakan, aku mengalaminya bertahun-tahun dan aku merasa cukup sudah biarkan aku yang menyimpannya. Semenjak itu, aku merasa cara itu efektif. Aku selalu berlari dan aku selalu baik-baik saja. Hingga sekarang. Hingga aku menuntaskan tulisan ini. Aku tak tahu apa ini benar atau keliru, tapi hei semua orang punya kebebasan atas dirinya. Dirinya yang tak terlihat oleh yang lain. Dan, aku memilih untuk selalu berlari, melawan angin di depanku. Dengan semangat yang memacuku untuk sampai ke garis finish lebih awal daripada yang lain. Garis finish yang ku sebut sebagai "masalah telah selesai dan kamu baik-baik saja, setidaknya terlihat demikian". Entah.
0 komentar:
Post a Comment