Berbalik kembali

...Mungkin kamu akan menyadarinya suatu hari nanti, saat aku sudah pergi... Begitu pun aku...

Pernahkan kamu terjebak begitu lama dalam khayalan dan harapan yang serta merta kamu tanam sendiri, lantas tanpa sadar kamu juga yang memupuknya hingga ia tumbuh dengan begitu subur bak jamur di musim penghujan? Kamu merasa semua yang sudah kamu pilih sebagai sebuah impian atau sekadar imajinasi tersebut adalah hal terindah yang tak mungkin kamu gantikan dengan hal lain. Seakan-akan kamu tahu bahwa jika semua terwujud maka hidupmu akan sangat luar biasa (bahagia), serasa sempurna, dan tak ingin apa-apa lagi. Sampai sebegitu istimewanya hingga bahkan kamu sangat takut berharap tinggi-tinggi padahal sungguh memang kamu sudah tanpa sadar berdiri di not tertinggi dalam tangga nada harapanmu itu. Dan, celakanya kamu menikmatinya. Terlanjur nyaman dengan semua omong kosong di kepalamu sendiri.

Terkadang kamu butuh teguran agar tersadar bahwa semua yang kamu harapkan itu adalah permainan yang kamu ciptakan untuk dirimu sendiri. Kamu bermain dan kamu terjebak. Tahukah kamu bahwa sesungguhnya kita terlampau sering memaksa hati maupun pikiran kita untuk bekerja lebih berat dari seharusnya. Kita tak mau bersikap realistis dan muluk-muluk mematok ukuran kepada diri sendiri tanpa tahu di batas mana kita akan bertahan dengan semua harapan-harapan itu.


Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu. Memang benar bahwa Tuhan tak melarang kita bermimpi, karena kita tahu bahwa hidup tanpa mimpi adalah musibah terbesar dalam kehidupan manusia. Aku setuju. Tapi, tidak untuk hal yang satu ini. Rasakan ketika kamu pernah begitu menginginkan sesuatu, kamu pernah sangat ingin lebih dari sekadar memiliki melainkan kamu ingin menjadi seperti hal yang sedang sangat kamu inginkan tersebut. Kamu sandingkan dirimu dengan keinginanmu itu seperti sedang bercermin. Mematut-matut diri agar sedemikian rupa menyerupainya. Kamu tak ingin ada cela beda barang se-nanometer pun. Tahukah kamu sesungguhnya, kamu sedang menghukum dirimu sendiri dalam sebuah penjara bernama "tidak menjadi diri sendiri dan sangat terobsesi pada keinginan yang kamu ciptakan sendiri dalam sebuah sosok bernyawa yang kamu sebut sebagai dia". Entah bagaimana semua itu pernah hinggap dalam setiap inchi raga jiwa ini.


Kamu tahu kamu akhirnya sadar akan sebuah lelucon yang kamu tertawakan justru karena memang sama sekali tidak lucu. Tapi bagaimana jika pada akhirnya setelah kamu turunkan semua pengharapanmu itu pada sebuah titik yang bisa kamu capai tetapi pada akhirnya kamu enggan bertahan lama-lama dan memilih untuk menanjak lagi. Kamu menjadi demikian tak tahu diri dan seperti ingin membalikkan badan ke arah harapan awal yang sungguh pernah menjeratmu dalam sebuah ketidakpastian berlarut-larut. Kamu seperti hendak melangkahkan kaki mengambil langkah kembali. Seakan kamu menemukan kesadaran lain yang memberitahumu bahwa cukup sudah yang telah berlalu, kamu harus kembali ke titikmu sesungguhnya. Bahwa kamu, masih ingin mengungkung diri dan masih sangat menikmati posisimu di titik menyebalkan itu. Entahlah, mungkin kamu menjadi sudah sangat pintar menyadari atau justru semakin bodoh memutuskan. Kamu tak bisa meminta pendapat siapa-siapa. Kamu sendiri yang harus menyadarinya, bahkan jika cara kamu menyadarinya adalah dengan kembali atau dengan menyesali. Kamu harus mengenal apa itu belajar.

0 komentar:

Post a Comment