Saat seseorang belajar sebuah pengorbanan, mungkin juga ia sedang belajar bagaimana rasanya harus meninggalkan semua yang ia punya (untuk kurun waktu tertentu). Keluarga, teman-teman, sahabat, lingkungan yang membesarkannya atau hal lain yang mungkin belum disadarinya. Ia mungkin terlalu kecil untuk mengerti saat itu. Setiap orang pernah menghadapi simpangan-simpangan peristiwa dalam hidupnya. Entah yang luar biasa hingga membekas di memorinya begitu lama atau sekadar figuran cerita yang mampir lewat namun memberikan jejak. Semua sah-sah saja dalam lembaran hidup karya tangan Tuhan. Persimpangan-persimpangan tak terlihat itu menuntunmu pada tempatmu sekarang berada. Menjauhkanmu dari hal yang mungkin saja lebih buruk jika kamu tetap di jalan itu. Atau sebatas anggapan yang tak cukup adil untuk menilai posisimu, yang kadang sekenanya saja dalam memberi label penghakiman atas dirimu. Itulah sebabnya, kamu harus menyingkir.
Semarang, sembilan tahun silam
Bicara soal asal muasal motif tulisan ini, semua berawal dari sebuah mimpi. Kita semua pernah bermimpi, mimpi besar, lantas menyerahkan mimpi itu pada doa-doa yang kita panjatkan tiap hari. Tuhan mendengarnya, pasti mendengarnya. Hanya saja semua tak lantas menjadi iya. Bisa jadi Tuhan menolongmu dengan cara lain, yang tak kau duga sekalipun, yang bagimu lantas kau anggap seperti sebuah permainan hidup atau memang tambahan peran dalam lakon ceritamu. Itu semua mungkin saja. Lewat kiriman-Nya yang berwujud manusia berhati malaikat tak bersayap yang biasanya kita sebut demikian. Itu mungkin salah satunya. Tuhan lah yang menciptakan persimpangan-persimpangan itu, bukan untuk membuatmu tunduk dalam keraguan. Mungkin saja ada jawaban tersirat dari semua simpangan itu. Segalanya memang serba menjadi kemungkinan dalam persimpangan-persimpangan itu. Aku pun pernah mengalaminya. Berdiri di persimpangan besar yang mungkin saja akan mengubah hidupku 180 derajat. Aku pun belum menyadarinya dulu. Sembilan tahun yang lalu, aku masih terlalu kecil untuk mengertikan sebuah pengorbanan. Sebuah rekayasa tangan Tuhan yang membawaku ke tempat itu, untuk membuat sebuah keputusan akan janji masa depanku kelak. Terlalu berat memang kedengarannya, sebuah pengorbanan yang mungkin saja memang begitu adanya. Antara memang aku yang berkorban atau orang tuaku yang mengikhlaskan. Aku tak tahu. Hanya saja, semua tak terjadi. Lebih tepatnya, batal terjadi. Aku dipilihkan untuk tetap bertahan di hidupku yang normal, tanpa campur tangan malaikat itu.
Aku tahu, akan sangat berat jika aku menerima tawaran itu. Berat untuk berbagai pihak. Aku punya tempatku sendiri, dan aku tahu pasti bukan di sana. Aku mungkin baru menyadarinya sekarang, hanya saja aku bersyukur telah dipertahankan. Malaikat itu terlalu baik. Aku pantas berjuang. Kelak, aku akan ke sana lagi. Melihat bukit-bukit kota itu. Kan ku selesaikan urusanku. Aku sudah cukup dewasa untuk mengerti.
Sampangan, Semarang.
0 komentar:
Post a Comment