Keretamu

It had been awhile since I waited your coming. 

Kau selalu tahu aku tak begitu suka bepergian. Bukan alasan kemananya atau untuk apanya, tapi lebih kepada bagaimana perjalanannya. Lucu bukan, padahal aku suka sekali mengamati jalanan yang melalukanku kepada tempatmu, kepada tempat-tempat yang kau tunjuk dengan jarimu karena ketidaktahuanku. Padahal di setiap perjalanan yang kita ambil, akulah orang yang paling menikmatinya, memandang lama dibalik jendela kereta hingga melupakan kamu yang diam-diam tersenyum memandangiku di samping tempat dudukku. Padahal kau tahu, aku selalu bersuka cita menyambut liburan dengan menapaktilasi jalan-jalan yang sempat pernah ku rasai dalam angan, dalam mimpi, pun dalam nyata. Padahal aku selalu merengek kepadamu untuk mengajakku ke semua tempat yang kita sukai, terlebih yang belum pernah ku datangi. Padahal pula, aku tak pernah berhenti sesumbar tentang tempat-tempat indah dan asing di luar sana yang ku kemas menjadi tujuan-tujuan kita berikutnya dan berikutnya lagi. Namun, kau masih saja tahu dan mengerti bahwa aku tetap saja bukan pecinta travelling.


Kau selalu mengulang cerita-ceritamu tentang tempat-tempat menarik yang banyak tak ku tahu. Di matamu, aku adalah telinga. Aku tak banyak bercerita, aku hanya mendengarmu mendongengiku. Saat aku hanya lebih sering cerewet berkomentar, kau selalu saja menertawai kebodohanku karena tak banyak tahu tempat yang kau maksud. Namun, aku pada akhirnya tahu di setiap tawamu itu, kau sedang mengajariku menyukai dirimu. Kau tahu, aku tak perlu belajar menyukaimu, perlahan perjalanan-perjalanan di atas kereta itu mengenalkanku atas dirimu, membuatku tahu, aku sudah sejak lama menyukaimu, sejak saat kamu mempercayaiku  sebagai telingamu. 

Kau pernah mengajariku merekam jejak kereta, merasai waktu perlahan mendekatkan kita pada tempatmu menuju. Bagimu, aku yang bodoh ini terlalu kegirangan meloncati gerbong kereta usang itu. Ada keceriaan yang entah bagaimana ku rasakan dengan sangat sempurna. Mungkin kala itu, bagimu aku terlalu udik dibanding mereka yang seusia kita. Dan kau selalu paham, aku tak pernah peduli betapa aku lebih sering terlihat tak tahu menahu tentang perjalanan, tentang tempat, tentang apapun yang ada di dunia luar sana. Aku juga masih ingat di awal perjalanan kita dulu, seakan kedua bola mata kita sama-sama selalu memandangi titik yang berbeda. Seakan pikiran kita sama-sama meminta dipisahkan dimensi tepat pada waktu kita justru sedang duduk berdua. Ada tempat lain yang hendak kau tuju, namun tak kuasa kau sebut. Ada tempat lain yang sungguh ingin ku pijak, namun terasa mustahil untuk ku putuskan pergi.

Tahun berganti tahun, hingga kita yang dulu kini telah menjadi aku dan kamu. Aku hampir lupa kapan terakhir kalinya aku dan kamu menanti kereta yang sama. Aku hampir lupa bahwa pernah ada kamu yang menemaniku menghitung bintang dari kaca kereta atau sekadar terjebak dalam cerita-cerita konyol masa SMA. Dan, puncaknya, aku bahkan lupa bagaimana mengingat wajahmu yang teduh ketika mendongengiku tentang teman-teman lamamu itu. Aku lupa pada melodi suara-suaramu yang mengalunkan dongeng yang sering tak ku mengerti namun sangat ku sukai. Ada beda pada tempo kini dan dulu yang kian jelas ku rasai sekarang. Aku mungkin telah melupakanmu hingga ke noktah terkecil dari yang ku bisa lihat, pun dirimu. Keretamu dan keretaku menjelma gerbong terpisah. Aku sudah lama tak menunggu kedatangan kereta itu, beriringan dengan musim yang terus berganti tanpa henti. Jejak-jejak itu dihapus roda kereta bersama rintik hujan yang tak lagi membawa namamu, yang tak lagi mengantarkan pesan rindumu. Sepi. Tepat di ujung rel kota itu, aku menunggu diriku sendiri, dibungkus cerita baru. September membuka matanya, menyambut kedatanganku. Ku harap kau masih ingat, aku tak pernah menyukai bulan September.

2 comments: